Pada era globalisasi ini, kemandirian sangat mutlak diperlukan dalam menentukan arah perjalanan sebuah negara. Dalam kaitan ini, Indonesia harus mereformasi pendidikan yang hingga hari ini belum mampu membangkitkan bangsa Indonesia dari ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain. Bila bangsa Indonesia tidak mengantisipasi faktor pendidikan di era globalisasi ini, akan menjadi ancaman yang mengerikan berupa runtuhnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas.
Fenomena globalisasi, yang telah mengubah sedemikian rupa pola perdagangan dunia, informasi dan komunikasi, serta hubungan perekonomian di akhir abad kedua puluh, membawa pengaruh perubahan yang sama di bidang pendidikan di awal abad kedua puluh satu.
Pilihan pendidikan saat ini, sudah tidak lagi tersekat pada batasan-batasan teritorial sebuah negara. Perubahan-perubahan sistem pembelajaran seperti transnational education, internet based learning, distance learning, kampus-kampus jarak jauh (offshore campus), franchise institution, telah berkembang sedemikian rupa pesatnya di berbagai negara. Hal ini memberi kesempatan kepada pelajar, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya untuk memilih lembaga pendidikan dan atau sistem pembelajaran yang diinginkannya, baik di negara asal maupun di luar negeri.
Persaingan global pun sangat terbuka bagi pelajar mahasiswa yang “berprestasi dan cemerlang”, karena di era global ini banyak negara yang menjadikan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebagai salah satu komoditi ekspor. Sepanjang sejarah kemanusiaan baru di era inilah masyarakat pendidikan, pelajar, mahasiwa, pengajar, dan civitas akademika lainnya mempunyai kesempatan untuk masuk dalam apa yang disebut sebagai “pasar dunia” atau global market.
Bagi para pendidik dan pimpinan lembaga pendidikan di Indonesia, era ini tentu saja memberikan banyak kesempatan sekaligus sebagai sebuah ancaman, atau setidaknya tantangan atau bahkan era ini merupakan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk bangkit menyejajarkan dirinya dengan negara-negara lain di dunia.
Ancaman yang sangat mengerikan bila bangsa Indonesia tidak mengantisipasi faktor pendidikan di era globalisasi ini adalah runtuhnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas. Sumber daya manusia yang dimiliki tidak mampu bersaing dalam berbagai sektor kehidupan membuat Indonesia semakin terdesak mundur dan kalah dalam persaingan menata kehidupan sosial, ekonomi, politik, pertahanan, dan lainnya.
Ketergantungan yang terus-menerus terhadap orang, institusi dan negara lain membuat ketidakpercayaan terhadap diri sendiri yang semakin dalam sehingga banyak hal harus ditentukan oleh orang, institusi dan negara lain. Sementara pada era globalisasi kemandirian sangat mutlak diperlukan dalam menentukan arah perjalanan sebuah negara. Indonesia harus mereformasi kembali pendidikan yang hingga hari ini belum mampu membangkitkan bangsa Indonesia dari ketertinggalannya dengan bangsa-bangsa lain.
Ancaman yang disebutkan di atas adalah tantangan yang harus dihadapi dengan keseriusan dan penuh keyakinan, karena untuk kembali menata pendidikan sebagai kunci keberhasilan sebuah negara kita menghadapi berbagai tantangan yang sifatnya intern maupun ekstern.
Tantangan secara intern yang jelas adalah, bahwa banyak di antara pelajar, mahasiswa bahkan orang tua palajar Indonesia, masih melihat Australia, Britania Raya, dan Amerika Serikat untuk tujuan belajar, baik itu untuk tingkat sarjana ataupun pascasarjana. Hal ini disebabkan mutu pendidikan di negeri ini terus dan terus menurun, juga masih saja kekurangan fasilitas, termasuk di dalamnya kurangnya fasilitas komputer dan akses internet, dan alat bantu modern lain yang dibutuhkan.
Kekurangan tersebut tidak saja monopoli lembaga-lembaga pendidikan tinggi daerah, baik milik pemerintah maupun swasta, tetapi juga berlaku pada lembaga pendidikan di kota-kota besar. Hanya sedikit saja di antaranya yang memiliki kemapanan berupa kecukupan alat bantu modern. Mereka masih belum mampu menarik minat masyarakat menengah atas, karena berbagai sebab, di antaranya adalah kurangnya tenaga pengajar internasional, diragukannya pengakuan internasional, dan kurikulum yang masih mengacu pada aturan lama yang tidak seiring dengan permintaan internasional. Bagaimanapun sampai saat ini lembaga pendidikan Indonesia, masih belum mampu bersaing dalam kompetisi internasional yang amat ketat di era globalisasi ini.
Kebijakan pemerintah tentang pendidikan yang bukan menjadi prioritas utama dalam pembangunan menyebabkan dunia pendidikan Indonesia tertinggal jauh secara kualitas. Anggaran pendidikan yang minim, profesionalitas tenaga pengajar yang rendah, sarana dan prasarana yang tidak memadai membuat Indonesia semakin tertinggal jauh.
Secara ekstern, pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat yang sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan dengan dunia industri terutama yang berkaitan dengan informasi dan teknologi komunikasi belum mampu diikuti dengan cermat oleh bangsa Indonesia. Persaingan kualitas output pendidikan merupakan indikator yang jelas akan lemahnya output yang dihasilkan oleh Indonesia. Untuk itu kehandalan sense of entrepreneurship para pimpinan dan tenaga-tenaga manajemen pendidikan sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, sehingga mampu membawa lembaga pendidikan Indonesia ke arah global oriented dalam arti sepenuhnya.
Dengan tradisi belajar dan mengajar yang sudah cukup tua, sesungguhnya Indonesia mempunyai potensi untuk memanfaatkan globalisasi ini, jauh dari apa yang saat ini diperoleh oleh negara tetangga kita Malaysia, yang tak seberapa tahun yang lalu masih mendatangkan guru-guru dari Indonesia. Kini dengan upaya intensif, Malaysia sudah dikenal sebagai Center of Excellent, dan telah terjadi ketimpangan antara jumlah mahasiswa/pelajar yang dikirim oleh Indonesia, dengan pelajar/mahasiswa yang dikirim oleh Malaysia ke Indonesia.
Saat ini hanya kurang lebih 8.000 orang pelajar dan mahasiswa Malaysia di seluruh Indonesia, dan institusi pendidikan internasional yang terbanyak mendapatkan kepercayaan dari Malaysia adalah Al-Zaytun. Sementara jumlah pelajar Indonesia di negeri jiran ini lebih dari 28.000 orang.
Kemudian dalam kondisi ini bagaimanakah Indonesia mengambil peran? Inilah pertanyaan yang sering didiskusikan tentang upaya-upaya praktis oleh para pelaku didik di Al-Zaytun. Bagi pelaku didik Al-Zaytun, globalisasi disadari sepenuhnya sebagai suatu ancaman bagi kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia, namun juga menjadi tantangan dan harapan untuk berkiprah di jagat raya, mengukir kebesaran potensi yang dimiliki bangsa Indonesia melalui pendidikan.
Beruntunglah bahwa untuk itu semua, Indonesia telah memiliki Undang Undang Pendidikan baru, yang tentu saja lebih terbuka dan lebih akomodatif untuk segala bentuk inovasi dan reformasi pendidikan, sehingga memudahkan pendidik, dan peserta didik memperoleh kesempatan di era globalisasi ini.
Masa Lalu: Pengaruh Internasional pada Pendidikan Indonesia
Tidak seperti negara-negara lain, Indonesia mempunyai latar belakang sejarah pendidikan modern yang berbeda, dan mempunyai kekhasan tersendiri, yang sangat memengaruhi perkembangan dan persepsi terhadap globalisasi atau internasionalisasi pendidikan di negeri ini.
Tidak seperti negara-negara lain, Indonesia mempunyai latar belakang sejarah pendidikan modern yang berbeda, dan mempunyai kekhasan tersendiri, yang sangat memengaruhi perkembangan dan persepsi terhadap globalisasi atau internasionalisasi pendidikan di negeri ini.
Malaysia misalnya, walau sempat tertinggal jauh dari Indonesia, tetapi negeri ini mempunyai tradisi pendidikan internasional yang diwariskan oleh penjajah Inggris, yang mempunyai kebiasaan sejarah selalu membawa pelaku-pelaku didik di tengah bangsa yang dijajahnya, walau pada mulanya hanya untuk mengakomodasi kepentingannya sendiri. Sehingga di negara-negara jajahannya selalu terdapat lembaga-lembaga pendidikan bertaraf internasional, yang pada gilirannya memengaruhi tradisi belajar dan mengajar di negeri jajahannya.
Stanford, dan banyak instistusi excellent lainnya telah ada di Malaysia sejak lama, begitu juga St. Stephen College, Presidency College, St. Joseph’s College, St. Xavier’s, Christian Medical College, CMC Vellore, Isabella Thoburn College dan banyak lagi institusi ternama, terdapat di India sejak lama, tempat sebagian besar elite negeri ini belajar, banyak lagi di Pakistan dan Bangladesh, serta negara-negara jajahan Inggris lainnya.
Berbeda dengan negara-negara tersebut di atas, Indonesia mempunyai latar belakang sejarah pendidikan yang amat unik, yang sekalipun pendidikan modern sudah merambah sedemikian luasnya, tetapi akar pendidikan Indonesia, yakni “pesantren”, masih tetap berdiri kokoh dan memberikan kontribusi aktif bahkan lebih dibanding dengan apa yang disebut sebagai lembaga pendidikan modern (Baca artikel Syaykh Al-Zaytun pada Berita Indonesia Edisi 09 dan 10).
Sedangkan pendidikan modern baru diperkenalkan oleh penjajah Belanda pada tahun 1892, dimulai dengan pendidikan dasar yang kemudian dikembangkan sampai ke perguruan tinggi pada tahun 1920, dengan berdirinya sekolah tinggi teknik Bandung, disusul dengan berbagai lembaga pendidikan tinggi di kawasan lain di Pulau Jawa, yang kesemuanya merupakan lembaga pendidikan yang amat exclusive, sehingga tidak setiap warga mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan tinggi. Di masa itu terdapat pembagian peringkat sekolah, sehingga menyulitkan masyarakat kebanyakan untuk mengikutinya, bahkan untuk sekolah peringkat dasar sekalipun.
Hampir bersamaan dengan itu, para tokoh pendidikan pesantren pun, berupaya untuk memertahankan eksistensi pendidikan Islam, dengan mendirikan pesantren modern sesuai dengan jamannya, Pondok Tebuireng didirikan, begitu juga Pondok Modern Gontor Ponorogo. Di lain pihak Muhamadiyah pun melakukan hal yang sama, sekalipun orientasinya sedikit berbeda, karena lebih mendekati upaya pendidikan yang dilakukan oleh pihak penjajah Belanda, dengan muatan keislaman.
Tidak seperti Malaysia dan negara negara jajahan Inggris lainnya, yang begitu mudah diarahkan dan mengikuti jejak penjajahnya, terutama dalam kaitan dengan penggunaan bahasa. Belanda tidak mampu melakukan hal yang sama, karena benteng kokoh pendidikan bangsa Indonesia tersebut di atas. 350 tahun lebih tidak memberikan bekas budaya bahasa sekecil apapun kepada bangsa Indonesia, dan sepeninggal mereka, terasa begitu mudah dan cepatnya bangsa ini menemukan jati diri, begitu juga dalam kaitan dengan pendidikan.
Dengan demikian sentuhan-sentuhan internasional terhadap pola pendidikan di Indonesia, sangatlah terbatas di awal pengenalan pendidikan modern tersebut, diiringi dengan berbagai tantangan, yang tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda. Sangat besar manfaat pengenalan pendidikan modern bagi perkembangan pendidikan di negeri ini, tetapi juga mempunyai dampak yang cukup serius, saat tantangan yang sama dengan pola yang berbeda kembali dihadapi oleh bangsa besar ini, yaitu globalisasi.
Pasca kemerdekaan, Indonesia bergerak menata dunia pendidikannya, namun masih dengan perhatian yang amat kecil dibandingkan perhatian pemerintah terhadap bidang-bidang lain. Sejak awal kemerdekaan sampai masa-masa reformasi, pada saat kepemimpinan negara dipegang oleh mereka yang lebih educated, namun belum memberi perhatian lebih terhadap dunia pendidikan di negeri ini.
Harapan akan munculnya gembong pendidikan Indonesia, sirna saat pendidikan Indonesia masih tetap seperti sedia kala (tidak bergerak maju), dan berbagai kebijakan masih jauh panggang dari api, dalam kaitan dengan derasnya arus globalisasi yang tak terelakkan. Walau saat ini bermunculan di sana-sini lembaga pendidikan tinggi, dari yang terbaik menurut ukuran Indonesia, sampai pada yang hanya dipergunakan untuk memperoleh formalitas kualifikasi.
Banyak sudah tenaga-tenaga pendidikan yang dikirim ke luar negeri untuk menyelesaikan program master dan atau doktoralnya, akan tetapi sekembalinya mereka ke negeri ini, tak banyak yang bisa mereka lakukan, hal ini karena adanya perbedaan antara yang harus mereka lakukan dengan kebijakan yang ada, walau di antara mereka ada yang menduduki posisi kunci dalam kementerian pendidikan.
Pesantren sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dunia pendidikan Indonesia, ternyata dalam keterbatasannya, mampu melebihi lembaga-lembaga pendidikan sekuler, dalam kaitan dengan pengakuan internasionalnya, sebagai misal Pondok Modern Gontor, dan banyak lagi pesantren telah mendapatkan pengakuan dari Mesir atau negara Arab lainnya. Sementara sampai saat ini belum satu pun universitas di luar negeri, yang meluluskan ijasah SMU sebagai persyaratan masuk langsung ke universitas.
Universitas di Inggris, New Zealand, Australia dan banyak negara maju lainnya, mempersyaratkan dua semester di perguruan tinggi untuk bisa diterima langsung, belum termasuk penilaian kecakapan berbahasa Inggris, yang rata-rata harus memperoleh skor 550 untuk TOEFL dan 650 untuk IELTS, dan untuk itu dibutuhkan tambahan waktu antara enam bulan sampai dengan satu tahun.
Masih banyak lagi hal-hal penting, yang sama sekali belum tersentuh oleh sentuhan internasional, terutama dalam kaitan dengan perubahan kurikulum pendidikan menengah maupun tinggi, yang kesemuanya sangat erat kaitannya dengan rekognisi dan akreditasi international.
Al-Zaytun sebagai salah satu pelaku aktivitas pendidikan, sangat menyadari hal tersebut di atas, dan oleh sebab itu sejak berdirinya sampai pada usianya yang kelima, berupaya untuk memberikan sentuhan-sentuhan internasional, dengan harapan jika tiba saatnya nanti, lembaga pendidikan ini benar-benar menjadi lembaga pendidikan internasional, sekaligus sebagai “Center of Excellence”.
No comments:
Post a Comment