Pages

Friday, December 30, 2011

ANALISA SOSIAL (ANSOS)*

Download
Oleh Supian Syah**

1.      APAKAH ANALISA SOSIAL ITU?
Analisa Sosial dapat diuraikan dalam dua kata dasar yaitu analisa dan sosial. Analisa adalah analisis, uraian, atau kupasan. Sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat; perduli terhadap kepentingan umum. Jadi Analisa sosial atau yang lebih umum disebut ANSOS adalah satu cara atau metode yang digunakan dalam melakukan pembacaan atas peristiwa sosial kemasyarakatan untuk mengupas tuntas segala sesuatu yang bersinggungan dengan masyarakat atau kepentingan umum, atau secara lebih luas ANSOS dapat diartikan sebagai sebuah usaha memperoleh gambaran uraian tentang suatu permasalahan dalam masyarakat terkait dengan masalah ekonomi, politik, budaya, hukum, dan agama dalam sebuah masyarakat, sehingga kita dapat mengetahui sejauh mana masalah tersebut mempengaruhi struktural masyarakat.
2.      PRINSIP – PRINSIP DALAM ANALISA SOSIAL
Ada beberapa prinsip yang sampai saat ini masih berlaku dan harus dipegang teguh dalam analisa sosial, adalah:
ü  Kompleksitas                          : Mempermasalahkan masalah (tidak                                                   menyederhanakan masalaha)
ü  Tidak bebas nilai                     : Ada keberpihakan (terhadap masyarakat tertindas)
ü  Manusia Subjek Perubahan    : Tidak ada ketimpangan sosial yang datangnya dari                                                   langit (Tuhan)
ü  Kolektifitas                             : Dilakukan secara bersama-sama dengan                                                   komunitas.
3.      FAKTOR APA YANG MENDORONG SESEORANG MELAKUKAN ANSOS?
Dilakukannya analisa sosial tentunya bukan tanpa alasan, adapun hal yang melatar belakangi seseorang melakukan analisis sosial adalah faktor ketimpangan sosial (ketidak adilan) dan dominasi kaum kapitalis atau kaum pemodal. Artinya bahwa berdasarkan ketimpangan sosial dan dominasi kaum pemodal seseorang merasa perlu melakukan analisis sosial agar dapat mengakhiri segala bentuk ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam suatu sosial masyarakat agar tidak terjadi lagi diskriminasi kekuasaan dalam suatu masyarakat   
4.      BAGAIMANA CARA MELAKUKAN ANSOS?
Ada banyak cara yang dapat dilakukan dalam melakukan ANSOS, dalam hal ini cara efektif dan efisien dalam melakukan ANSOS adalah melalui sebuah analisa SWOT, sebagai berikut:
ü  Sternghten (Kekuatan)
Pertama yang harus dilakukan oleh pelaku ANSOS adalah mengelompokkan kekuatan apa saja yang masih dimiliki oleh suatu masyarakat atau komunitas.
ü  Weakness (Kelemahan)
Setelah diketahui beberapa kekuatan yang dimiliki oleh suatu komunitas, selanjutnya adalah mencari tahu kelemahan yang dimilki komunitas tersebut yang nantinya akan dibandingkan dengan kekuatan yang masih dimilki sehingga dapat ditutupi dengan beberapa kekuatan tersebut.
ü  Opportunity  (Kesempatan)
Tahap ketiga adalah membaca peluang atau melihat kesempatan apa yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah dengan berbekal kekuatan dan meminimalisir kelemahan yang dimiliki oleh suatu komunitas. Dalam arti bahwa nantinya kesempatan tersebut akan menjadi peluang untuk mengatasi masalah yang dipermasalahkan.
ü  Treatment (tindakan)
Terakhir, yang harus dilakukan oleh pelaku ANSOS adalah melakukan sebuah tindakan sebagai upaya pemecahan masalah setelah mengetahui seberapa besar peluang yang masih memungkinkan seseorang untuk melakukan perubahan. Dalam menentukan tindakan apa yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut, terlebih dahulu harus menyesuaikan dengan kemungkinan besar tindakan tersebut akan berhasil dilakukan. Ingat bahwa tidak mungkin suatu perubahan akan tercipta tanpa sebuah tindakan, karena ANSOS hanyalah sebuah metode sekaligus media, namun yang lebih menentukan brhasil tidaknya metode  tersebut adalah seberapa maksimal tindakan yang dilakukan.  
5.      HASIL AKHIR ANSOS
Seperti telah dipaparkan diatas bahwa berhasil tidaknya suatu analisis sosial tergantung pada seberapa maksimal tindakan yang dilakukan. Maka hasil akhir dari sebuah analisa sosial adalah perubahan kearah yang lebih baik. ANSOS tidak hanya berakhir pada proses advokasi (pendampingan) semata, melainkan lebih dari itu bagaimana setelah dilakukan ANSOS masyarakat dapat mengatasi masalah yang mereka rasakan sebelum dilakukan ANSOS. Dalam arti bahwa pelaku ANSOS hanya mengantarkan masyarakat atau komunitas menjadi lebih mandiri dan lebih peka dalam membaca peluang untuk terciptanya perubahan.





*) Disampaikan dalam Latihan Kepemimpinan Mahasiswa Matematika (LKMM) di Oesman Mansoer UNISMA, 1 November 2008
** )Supian Syah, Gubernur Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNISMA periode 2008-2009

PILKADA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Pilkada Jawa Timur yang sudah menyelesaikan tahap awal banyak menyisakan pertanyaan besar khususnya bagi kalangan elit politik yang mempunyai kepentingan dalam mengiring kadernya menduduki kursi kepemimpinan yang strategis. Salah satu tanda Tanya besar yang menjadi headline news hampir di setiap media pemberitaan adalah tentang Mengapa masih banyak warga Jawa Timur yang tidak menggunakan hak pilihnya?. Pertanyaan tersebut tentu muncul bukan tanpa alasan. Artinya bahwa ada hal yang memicu mengapa masyarakat tidak ikut serta memberikan hak pilihnya dalam proses pemilihan umum dalam hal ini adalah pemilihan kepala daerah. Mengenai hal pemicu apakah itu, itulah yang menjadi PR bersama baik komisi pemilihan umum wilayah Jawa Timur dan para pemerhati politik. Beberapa jawaban yang kemudian muncul dan berusaha menjawab PR tersebut adalah kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan umum kepala daerah disebabkan oleh beberapa hal diantaranya
1.      Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap janji-janji pemerintah utamanya para calon pemegang kekuasaan.
2.      Kekecewaan masyarakat terhadap para pelaksana pemilihan umum kepala daerah (PILKADA).
3.      Minimnya informasi tentang PILKADA.
Dari ketiga jawaban tersebut yang lebih mendapatkan perhatian khusus adalah point kedua tentang kekecewaan masyarakat terhadap pelaksana pemilihan umum kepala daerah (PILKADA), karena untuk point pertama, hal itu sudah menjadi isu umum yang seringkali diperdebatkan dalam setiap kesempatan debat terbuka calon kandidat. Sedangkan pada point ketiga, sangat tidak masuk di akal jika masyarakat tidak mengetahui informasi tentang PILKADA, karena secara otomatis sudah ada tim humas khusus yang di-SK-kan oleh komisi pemilihan umum daerah untuk mempublikasikan pesta demokrasi daerah yang akan berlangsung yang tentunya dipersiapkan secara matang dan merata. Jadi tidak ada alasan masyarakat tidak mendapatkan informasi tentang PILKADA.

1
 
Menindak lanjuti point kedua tentang kekecewaan masyarakat terhadap para pelaksana PILKADA, hal itulah yang menjadi titik fokus atau latar belakang dari permasalahan peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur pada khususnya. Dapat dibayangkan dari sekian banyak masyarakat Jawa Timur yang seharusnya menggunakan hak pilihnya, kurang lebih 40%  diantaranya tidak menggunakan hak pilihnya. Sungguh merupakan sebuah kegagalan besar bagi pemerintah Jawa Timur karena tidak sukses menghimbau kepada masyarakatnya agar menjadi masyarakat sekaligus warga negara yang baik melalui partisipasi dalam PILKADA. 40% bukanlah jumlah yang sedikit, dan itu berarti bahwa kualitas demokrasi di Jawa Timur masih sangat rendah. Rendahnya kualitas demokrasi dan bagaimana mengatasi kerendahan kualitas tersebut, itulah yang akan menjadi latar belakang dari penulisan karya tulis ini. Oleh karena itu perlu kiranya sebuah perhatian khusus pemerintah terhadap masalah dimaksud sehingga tidak lagi dijumpai polemik berkepanjangan tentang apakah demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang memihak empunya kekuasaan dan anti kaum pinggiran.

1.2.  Rumusan Masalah
Sesuatu yang diasumsikan sebagai masalah, tentu tidak hanya berhenti pada pernyataan asumtif semata tanpa ada sebuah pembahasan lebih lanjut tentang masalah yang dipermasalahkan, dalam hal ini adalah bagaimana cara meningkatkan kualitas demokrasi dalam pemilihan umum daerah. Dalam hal ini langkah efektif dan efisien adalah membatasi masalah dimaksud dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut.
1.      Benarkan kualitas demokrasi hanya bergantung pada sikap sadar masyarakat ?
2.      Upaya apakah yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kualitas demokrasi?
3.      Bagaimana caranya agar upaya peningkatan kualitas demokrasi bisa terlaksana?

1.3.  Tujuan
Untuk menambah kejelasan karya tulis ini, penulis mempunyai tujuan terkait dengan judul dan rumusan masalah yang sengaja penulis angkat. Adapun tujuan dimaksud dari penulisan karya tulis ini adalah
1.      Untuk mengetahui apakah benar demokrasi akan berkualitas hanya dengan dukungan dan sikap sadar masyarakat terhadap demokrasi.
2.      Untuk memberikan gambaran upaya yang dapat dilakukan guna meningkatkan kualitas demokrasi.
3.      Untuk mengetahui langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan agar dapat meningkatkan kualitas demokrasi.
Itulah beberapa tujuan dari penulisan karya tulis ini yang nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi keberlangsungan proses demokrasi langsung dalam bangsa Indonesia.

1.4.  Manfaat
Sehubungan dengan tujuan penulisan karya tulis ini, maka tentunya ada sedikit atau banyak manfaat yang kiranya dapat diambil dari karya tulis ini. Terlepas dari apakah karya tulis ini bisa mendatangkan manfaat secara individual ataukah manfaat secara hidup bersama dengan sebuah pengharapan hidup dan proses yang lebih baik. Adapun manfaat yang diharapkan bisa terwujud melalui karya tulis ini adalah
1.      Semoga hadirnya karya tulis ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran kepada seluruh penggiat politik sekaligus pemerhati politik di Indonesia akan betapa pentingnya mengkaji dan mengamalkan amanat undang-undang dasar (UUD 45) demi sebuah wujud kepedulian terhadap kondisi demokratisasi di Indonesia.
2.       Semoga karya tulis ini mampu memberikan penyadaran kepada masyarakat agar senantiasa berperan aktif secara langsung melalui hak suara dalam pesta demokrasi demi mensukseskan tertib demokrasi
3.      Semoga karya tulis ini dapat menjadi media komunikasi antara pemerintah dan masyarakat agar senantiasa memberikan yang terbaik bagi bangsa indonesia khususnya dalam hal kepemimpinan dan keikutsertaan langsung dalam memberikan hak pilih dalam sebuah tatanan demokrasi yang demokratif bukan demokrasi yang fiktif.
4.      Semoga karya tulis ini bisa memberikan manfaat bagi semua pembaca lebih-lebih para praktisi pendidikan sebagai bahan evaluasi dan bahan perbandingan sekaligus bahan acuan guna menciptakan proses demokrasi yang lebih baik lagi di Indonesia.














BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Demokrasi yang Berkualitas Tidak Hanya Bergantung Pada Sikap Sadar     Masyarakat.
 “Democracy is premised on the civil ideals of universal freedom and citizen equality. To the degree are at all, these ideals can be realized only and the basis of ongoing collaboration between an engaged citizenry and a state of protecting rights across the who9le of its territory” (Hefner 1998:18).
Dilihat dari kerangka pemikiran tersebut, maka reformasi politik Indonesia dalam tiga bidang besar tersebut mestilah menuju kepada pemberdayaan secara simultan baik institusi negara maupun lembaga-lembaga masyarakat madani yang berada diluar negara dan kekuasaan. Tanpa pemberdayaan simultan kedua hal tersebut, maka akan sulit sekali harapan untuk terciptanya masyarakat madani Indonesia baru, yaitu Indonesia yang demokratis. Hal yang kemudian menjadi sangat rentan dan sangat penting untuk diperhatikan adalah keadaban demokratis dan demokratis keadaban. Dalam arti bahwa apa yang dikemukakan oleh Hefner bahwa dalam pengembangan keadaban demokratis  sangat bergantung pada perubahan dan penyesuaian kultural dan institusional. Kedua hal itulah yang belum pernah terpikirkan dan belum pernah terjamah dalam proses demokrasi di Indonesia. Dengan kata lain bahwa perlu diadakannya sebuah perubahan orientasi demokrasi yang lebih mementingkan nilai-nilai keadaban termasuk didalamnya adalah kejujuran dan keadilan. Kejujuran dalam memainkan demokrasi dan keadilan dalam berdemokrasi.

4
 
Sedikit flash back terhadap perjalanan demokrasi di Indonesia masa rezim Megawati Soekarno Putri. Sejak itulah demokrasi terbuka mulai dicanangkan, salah satu bukti dari demokrasi yang berhasil digagas mantan presiden republik Indonesia tersebut adalah dengan diberlakukannya demokrasi langsung dimana masyarakat dapat memilih wakil rakyat ditingkat pusat maupun daerah sesuai dengan hati nurani mereka masing-masing sehingga secara langsung pula masyarakat dapat menilai calon pemegang kekuasaan. Namun ternyata pemilihan secara langsung tersebut tidak menjamin terhadap perubahan yang lebih baik dalam pemerintahan berikutnya. Hal itu disebabkan oleh ketidak pekaan pemerintah dalam menyelenggarakan proses demokrasi, dalam hal ini adalah pemilihan umum secara langsung baik pusat maupun daerah. Terbukti dengan masih banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya. Seharusnya jika pemerintah benar-benar belajar dari pengalaman, maka hal tersebut tidak layak terjadi untuk kedua kalinya, namun rupanya pemerintah Indonesia terlalu mengentengkan sesuatu dan tidak sepenuhnya mengaplikasikan hasil evaluasi setelah proses pesta demokrasi.
Jika pada pemilihan gubernur Jawa Timur masa jabatan 2003-2008 pasangan Imam Utomo dan Soenarjo yang berhasil memenagkan PILGUB tersebut dengan hasil perolehan suara 63 Suara dan pasangan rivalnya Abdul Kahfi dengan pasangannya Ridwan Hasyim yang memperoleh 34, itu artinya bahwa hanya ada 2 suara rusak dan 1 abstain (Kasiyanto Kasemin, 2004) mengapa pada proses PILGUB tahun 2008 ini harus 40% yang abstain. Hal itu menunjukkan bahwa kualitas demokrasi dalam proses PILGUB 2008 bukannya lebih baik melainkan lebih merosot dan inilah yang seharusnya disadari oleh para pelaksana PILKADA.  
Lantas apa yang menyebabkan kemerosotan kualitas demokrasi pada PILKADA 2008? Beberapa media pemberitaan melansir bahwa ada beberapa faktor penyebab kemerosotan kualitas PILKADA sebagai berikut:

A.    Intervensi Politic of  Power dan Money Politic
Tidak dapat dipungkiri bahwa intervensi politik selalu mewarnai ranah kehidupan manusia, ibarat pasangan suami istri, politik ibarat suami bagi kehidupan manusia, selama manusia hidup selama itu pula politik akan terus menemani proses revolusi kehidupan manusia. Begitu pula halnya dalam demokrasi, intervensi politik sangat kuat dan karena kekuatannya terhadap masalah demokrasi, sering kali politik lebih mendominasi sehingga proses demokrasi seakan-akan tertelan dalam nuansa politik. Itulah yang terjadi dalam PILKADA di Indonesia hampir di seluruh daerah. Salah satu contoh daerah yang mengalami kemerosotan demokrasi adalah Jawa Timur. Akibat dari intervensi politik yang terlalu dominan, proses PILKADA sama sekali jauh dari kata sukses.
Iming-iming kesejahteraan hidup dan perbaikan ekonomi yang ditawarkan kepada masyarakat daerah sangat menggebu-gebu dikampanyekan. Tidak jarang pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendidikan serta perluasan lapangan pekerjaan menjadi kontrak politik yang dengan jelas dipampang melalui iklan-iklan baris disepanjang jalan menuju desa dan kota. Semuanya itu adalah merupakan salah satu bentuk dominasi politik kekuasaan, sehingga masyarakat awam yang tidak faham akan arti dan bentuk politik itu sendiri serta merta 100% mempercayai setiap kalimat pilitik yang terpampang.
Beda halnya dengan educative society ( masyarakat terdidik), hadirnya bernagai media politik tidak serta merta dijadikan santapan siap saji yang harus disantap seketika. Tentunya mereka para masyarakat terdidik terlebih dahulu akan berpikir demi jangka panjang keberlangsungan hidup mereka, sehingga tidak semudah itu mereka harus memberikan hak suara mereka terhadap para calon pemegang kekuasaan. Itu arrtinya bahwa jika 40% masyarakat Jawa Timur yang tidak menggunakan hak pilihnya, maka dapat disimpulkan bahwa kisaran masyarakat berpendidikan di Indonesia hanya 40% selebihnya adalah masyarakat tak berpendidikan yang mudah terperangkap dalam permainan politik. Hal itu sekaligus menandakan bahwa perbandingan masyarakat terdidik dengan masyarakat tidak terdidik adalah 6 berbanding 4 dimana secara statistik angka tersebut menunjukkan tingkat buta aksara yang ada di Indonesia masih sangat tinggi khususnya di daerah Jawa Timur. Jadi terdapat sinyalemen bahwa pemerintah telah gagal mencanangkan program masyarakat membaca atau yang lebih dekat adalah wajib belajar 12 tahun seperti yang telah dicanangkan oleh Gubernur Jawa Timur dalam hal ini adalah Imam Utomo.  
Jadi sudah tidak dapat dipungkiri lagi intervensi politic of power dan money politic masih sangat mendominasi dalam setiap pelaksanaan demokrasi di Indonesia sehingga sangat kecil kemungkinan demokrasi di Indonesia akan berjalan adil dan benar sesuai dengan rel yang telah ditetapkan.

B.     Penyalah Tafsiran Demokrasi
Suatu ketika Johan ditanya oleh Santi yang secara kebetulan mereka berdua mengikuti seminar tentang perbaikan demokrasi Indonesia. Sebelum berangkat, berdasarkan ketidak mengertiannya, Susi menanyakan kepada Johan tentang arti demokrasi. Dengan sedikit senyum Johan menjawab bahwa Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Selebihnya Johan menjawab bahwa demokrasi adalah proses pemilihan secara langsung. Susi yang memang dari awal tidak mengerti makna demokrasi yang sebenarnya mengiyakan saja jawaban Johan, sehingga dengan kepercayaan kebenaran makna demokrasi tersebut Susi berani mengatakan bahwa demokrasi adalah proses pemilihan langsung dimana masyarakat mempunyai hak privasi dan otoritas penuh dalam memilih calon pemimpinnya.
Padahal lebih dari itu, demokrasi tidak bisa diartikan hanya secara harfiah semata, demokrasi mempunyai makna kompleks dan universal sesuai dengan konteks masalah dan konteks kekinian yang menjadi permasalahan. Contoh sederhana dari demokrasi secara konteks kekinian adalah demokrasi merupakan proses pembenaran yang salah dan pelurusan yang mbelot secara langsung maupun secara petak umpet, sedangkan demokrasi seperti yang telah dipaparkan oleh David Beetham dan Kevin Boyle dalam bukunya yang berjudul 80 tanya jawab tentang demokrasi, demokrasi berarti bahwa demokrasi mencakup prinsip kembar kontrol rakyat atas proses pembuatan keputusan kolektif dan kesamaan hak-hak dalam menjalankan kendali pemerintahan. Perluasan makna demokrasi tersebut tentunya bukan tanpa alasan, mungkin penafsiran demokrasi yang demikian sangatlah tidak relevan dari kata demokrasi itu sendiri, tapi itulah kenyataannya, kenyataan dimana demokrasi di Indonesia memang tidak pantas untuk ditafsirkan sebagai proses secara langsung, proses secara adil, proses secara jujur, karena banyak sekali dijumpai masalah ekstrim kesemena-menaan yang mengatasnamakan demokrasi.
Karena salah menafsirkan demokrasi itulah banyak dari masyarakat Indonesia yang melakukan hal-hal yang sebenarnya amat sangat tidak demokratis, tapi dengan kepercayaan mereka hal itu kemudian menjadi sah-sah saja. Namun masyarakat bukanlah subjek yang salah dalam hal ini, semua yang telah dilakukan masyarakat dengan pengatasnamaan demokrasi itu hanyalah luapan kekesalan terhadap pemerintah yang tidak pernah menempatkan demokrasi sesuai dengan peran dan fungsinya, sebenarnya pemerintah cukup pintar untuk mengartikan apa itu demokrasi, tapi mengapa masih saja pemerintah tiba-tiba kaku dan kelihatan bingung dan bodoh ketika dihadapkan pada persoalan demokrasi yang demokratis.
Bukti nyata dari luapan kekesalan masyarakat terhadap pemerintah dibuktikan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam PILKADA yang semakin meningkat. 40% masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam proses PILGUB 2008 tahap pertama bisa saja berkembang menjadi 60% atau bahkan 70% pada proses PILGUB tahap kedua. Bagaimana cara mengantisipasinya, itulah yang seharunya menjadi prioritas pertama dan utama pemerintah khusunya panitia pemilihan umum daerah Jawa Timur sehingga tingkat abstain atau golput masyarakat Jawa Timur bisa dikendalikan. Dengan cara apa dan bagaimana? Jawaban itu tidak lain adalah kembali menafsirkan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, bukan pemerintahan dari pemerintah oleh rakyat dan untuk satu kepentingan individu.

C.     Terlalu Banyak Prosedur
Selain intervensi politic of power dan money politic serta penyalah tafsiran demokrasi, prosedur yang berbelit-belit juga merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas demokrasi Indonesia. Kembali pada persoalan PILKADA Jawa Timur khususnya PILGUB Jawa Timur, prosedur dan tata cara pemilihannya terus terang sangat pelik dan memberatkan. Dapat dibayangkan, masyarakat yang akan memilih calon gubernur harus memfotocopy kartu identitas, kartu keluarga, kartu kesehatan dan kartu-kartu lainnya. Padahal sebelum akhirnya digelar pesta demokrasi PILGUB sudah ada pendataan atau sensus penduduk untuk mendata semua masyarakat mulai dari perkotaan sampai pada pedesaan terpencil pedalaman. Tapi mengapa harus ada pembuktian secara formalitas salah satunya dengan fotocopy kartu identitas. Hal itu mengindikasikan bahwa pemerintah sangat lemah dalam hal administrasi.
Satu hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan pelaksana PILKADA bahwa masyarakat yang memilih tidak mendapatkan jaminan uang sepeserpun, mengapa mereka harus mengeluarkan uang pribadi untuk memilih calon gubernur. Tidakkah cukup waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk bekerja mereka sempatkan untuk memilih calon gubernur yang belum tentu bisa memberikan kompensasi atau jaminan uang kepada mereka. Tidakkah cukup ongkos transport yang mereka keluarkan hanya demi mensukseskan proses PILKADA dan PILGUB. ironisnya kertas fotocopyan yang mereka serahkan kepada pihak panitia pemilihan umum daerah hanya dijadikan bukti bahwa mereka benar-benar mempunyai hak memilih dan setelah itu lantas dilihat dan diabaikan.
Berbeda dengan Negara luar, dinegara luar contohnya Amerika Serikat, mereka tidak terlalu membuat prosedur yang pelik bagi masyarakatnya, namun bukan berarti mereka tidak cekatan dalam hal membuat prosedur. Yang terpenting bagi mereka adalah praktek dan teknis dilapangan. kepelikan prosedur itulah yang sebenarnya membuat masyarakat enggan memberikan hak suara mereka dalam proses demokrasi. Seandainya panitia pemilihan umum daerah benar-benar siap menyelenggarakan PILKADA dan PILGUB, tentunya tidak terlalu memberatkan masyarakat yang ingin memberikan hak pilih mereka. Cukup dengan sensus penduduk seharusnya masyarakat sudah dapat memberikan hak suara mereka tanpa harus diberatkan dengan foto copy identitas, karena sebenarnya itu sudah mewakili kebenaran dan keabsahan masyarakat pemilih. Beda halnya jika ada masyarakat yang belum terdaftar sebagai pemilih, seharunya panitia lebih siap dengan prosedur antisipasi atau dalam dunia pendidikan dikenal dengan planning B. Anehnya panitia merasa seakan-akan sudah terbiasa dengan mewajibkan masyarakat melalui prosedur-prosedur yang memberatkan dan tradisi itu sudah berlangsung lama.  

2.2. Upaya Peningkatan Kualitas demokrasi
Pemilu 2009 sudah mulai hangat di bicarakan oleh para partai politik, sekarang dimulai dari pencalonan anggota legislatif oleh masing-masing partai. Namun, publik tidak dilibatkan, dalam proses politik yang sangat menentukan negara kita di masa mendatang ini. Sekarang, mayoritas masyarakat dihinggapi kejenuhan politik (political fatigue), atau semacam kekecewaan demokrasi (democratic disappointment), akibat kurang bermaknanya demokratisasi terhadap kehidupan masyarakat.
Menyambut Pemilu 2009 ini ”greget” public sangat menurun dibuktikan dengan tingginya angka golput dalam pilkada Jawa Timur khususnya, tampilnya sedikit pemimpin muda, lemahnya kaderisasi dalam partai, merosotnya kredibilitas penyelenggara negara karena korupsi, dan skandal moralitas menjerat elite politik. Kecenderungan ini memberi pertanda khusus Pemilu 2009. Melemahnya antusiasme publik berpartisipasi dalam pemilu dan lunturnya kepercayaan publik terhadap demokrasi bisa menyebabkan kualitas Pemilu 2009 merosot, tidak sebaik Pemilu 2004. Jika tidak diatasi, hal ini dikhawatirkan menjadi sandungan politik bagi keberlanjutan demokrasi di Indonesia.
Di masyarakat yang demokrasinya sedang berkembang, seperti Indonesia, rendahnya partisipasi politik mengindikasikan aneka makna. Bisa jadi ini pertanda buruk performa institusi demokrasi, atau mencerminkan rendahnya kesadaran politik warga. Tetapi, melihat tingginya partisipasi politik dalam Pemilu 2004, tidaklah tepat menyalahkan warga negara. Masalahnya terletak pada institusi demokrasi kita. Partisipasi adalah soal hak, bukan kewajiban. Penggunaannya pun tidak bisa dipaksakan, tetapi berdasarkan kesadaran politik warga. Jika masyarakat memandang penggunaan hak politiknya akan memberi manfaat bagi kehidupannya, dengan sendirinya mereka akan berpartisipasi dalam politik. Sebaliknya, jika tidak, mereka akan mengabaikannya.
Merosotnya partisipasi publik merupakan dampak bekerjanya sistem demokrasi selama ini. Dalam sistem demokrasi yang sedang berkembang ini, tingkat partisipasi merupakan pertanda politik penting untuk menilai kualitas demokrasi. Saat rakyat merasakan kebutuhan dasar dan hak-hak politiknya tidak terpenuhi, mereka akan bersikap apatis terhadap proses politik yang terjadi.
Bagaimana meningkatkan partisipasi warga yang sudah merosot dan tidak percaya pada demokrasi? Tidak ada rumus pasti atas masalah ini. Partisipasi adalah masalah rumit, terkait kompleksitas hubungan lembaga politik dengan kehidupan masyarakat sipil yang luas. Sistem demokrasi selalu menghadapi ketidakpastian. Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah panglima. Terlebih mendekati pemilu, mereka adalah penentu terakhir permainan politik, dengan segala misteri di dalamnya. Apa kemauan rakyat dan kepada siapa mereka menjatuhkan pilihan politik selalu menjadi tanda tanya bagi demokrasi.
Masalah ini bukan hanya dihadapi Indonesia, tetapi juga negara yang telah maju demokrasinya. Amerika Serikat misalnya, selalu menghadapi masalah tingginya angka golput. Namun, karena politik sehari-hari, atau normal politics, mereka bekerja dengan baik maka mereka bisa mengatasinya.
Bagi Indonesia, tingginya partisipasi politik dalam Pemilu 2004 bisa dijadikan modal dasar guna mengatasi ketidakpastian ini. Masalahnya, terletak pada institusi demokrasi kita. Bagaimana menjadikan institusi-institusi demokrasi ini lebih berarti sehingga publik kian berpartisipasi dan menjadikan sebagai kepedulian bersama. Kini, yang paling mendesak, jelas di depan mata sekaligus paling realistis dilakukan, adalah bekerjanya institusi Pemilu 2009. Bagaimana menjadikan Pemilu 2009 lebih berkualitas, setidaknya seperti Pemilu 2004 sehingga mendongkrak kepercayaan publik terhadap demokrasi. Kualitas demokrasi bisa ditingkatkan anatara lain dengan;

A. Pemberian Penghargaan
            Dengan memberi nilai lebih pada bekerjanya institusi demokrasi melalui penambahan dan peningkatan kebaikan atau berbagai kemuliaan nilai demokrasi untuk kebaikan bersama (public virtues). Fundamental dalam demokrasi, adalah hidup dalam kebebasan. Dengan itu, warga negara bebas menyampaikan pikiran, pendapat, berbicara, menentukan pilihan, dan tujuan hidupnya. Dalam hal ini, berkembangnya demokrasi akan memperluas kebebasan nyata (the real freedom) dan memperkaya makna hidup (enriching human life), menjadikan kehidupan publik lebih bermakna. Dalam sistem demokrasi yang bebas dan terbuka, kebebasan menyampaikan pikiran dan pendapat akan menumbuhkan berkembangnya diskusi publik. Diskusi publik ini akan menumbuhkan berkembangnya nalar publik (public reasons) berupa berkembangnya kepedulian publik terhadap masalah yang dihadapi.
Di sini menjadi jelas perbedaan antara sistem otoriter, atau otokrasi, dan demokrasi. Jika dalam pemerintahan otokratis, berbagai masalah pembangunan, seperti bencana kelaparan, kemiskinan, kemerosotan kualitas hidup, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, konflik sosial akibat pembangunan cenderung ditutup-tutupi rezim penguasa, dalam demokrasi, berkat berkembangnya diskusi publik bisa segera diatasi.
Merosotnya partisipasi publik dan kualitas demokrasi bisa diselamatkan dengan menumbuhkan berkembangnya demokrasi nalar publik (public reasons democracy) dalam Pemilu gubernur Jawa Timur tahap kedua. Dengan demikian, politik demokrasi kita memiliki kepedulian terhadap aneka masalah yang dihadapi publik. Pemilu dengan diskusi harus dikembangkan. Masalah-masalah mendesak yang dihadapi bangsa, seperti pemulihan krisis ekonomi, pemilihan pascakonflik, pemulihan pascabencana, jaminan keamanan, kemerosotan kualitas hidup kesehatan, pendidikan, kemiskinan, pengangguran, dan problema sosial-ekonomi lainnya, harus bisa diangkat dan mendapat pemecahannya dalam pemilihan umum daerah Jawa Timur dalam hal ini adalah pemilihan gubernur. Tanpa itu, dikhawatirkan kualitas demokrasi kita akan kian merosot, tidak peka terhadap masalah-masalah yang dihadapi bangsa sekarang ini.

B. Meningkatkan Pendidikan Demokrasi Masyarakat
            Dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pemilihan umum (PEMILU) masyarakat seharusnya terlibat atau ikut serta di dalamnya, karena mereka masih berhak untuk ikut serta memberikan pemikiran-pemikirannya pada saat perencanaan dan penyelenggaraan tersebut. Selain itu, masyarakat juga harus ikut serta di dalam mengevaluasi sehingga dengan sendirinya pendidikan demokrasi di masyarakat akan terlaksana. Dengan begitu masyarakat akan mempunyai kreatifitas-kreatifitas sendiri tidak selalu mengkopi dari pemerintah. Di negara berkembang seperti di Indonesia ini. memang sepantasnya mengembangkan model-model pendidikan demokrasi yang sifatnya partisipatoris sehingga masyarakat akan mengerti terhadap apa yang seharusnya mereka lakukan.
            Apabila seluruh lapisan masyarakat paham pada proses demokrasi maka pemerintah tidak perlu menghabiskan banyak tenaga untuk menolehkan kesadaran masyarakat yang hari ini sedang menurun derastis. Secara tidak langsung mereka akan merasa terpanggil dan merasa mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Mereka tidak akan membiarkan atau melepaskan tanggung jawab tersebut kepada KPU atau pemerintah saja.

C. Memaksimalkan Kinerja KPU Dalam Bingkai Hukum
            Pemerintah berkewajiban memberi peringatan pada setiap panitia pemilihan umum dalam hal ini adalah pelaksana PILKADA agar bersama-sama bekerja maksimal dalam mensukseskan jalannya pemilihan umum daerah. Berbicara tentang peringatan tentunya ada ancaman atau sanksi bagi siapa saja yang melanggar peringatan tersebut dan hukumlah yang akan berbicara dan bertindak langsung. Sanksi itulah yang akan membingkai kinerja para pelaksana PILKADA sehingga mereka akan bekerja on the job desicion atau bekerja pada pembagian job yang semestinya.
            Kasus kecil yang pernah terjadi pada proses pemilihan unum daerah Jawa Timur tahap pertama adalah adanya pelimpahan tugas atau wewenang pelaksana PILKADA, yang seharusnya dia mengurusi bagian penerimaan kartu pemilih, sebaliknya mengurusi masalah pemberian kartu suara, apapun alasannya hal itu tidak bisa dibenarkan secara prosedur,  kalaupun ada hal yang sangat penting yang harus dilakukan oleh satu orang dalam sebuah tim pelaksana PILKADA, maka seharusnya penggantinya adalah bukan orang yang mempunyai tugas berbeda melainkan harus ada orang cadangan yang suatu saat dapat menggantikan posisi yang bersangkutan. Itulah yang seharusnya dipikirkan oleh para panitia penunjuk pelaksana PILKADA, layaknya sebuah permainan tentunya ada tim cadangan untuk menggantikan tim inti. Dan itu juga seharusnya berlaku dalam pelaksana PILKADA agar kemungkinan terjadinya kesalahfahaman dan kesalahkerjaan dalam proses pemilihan umum bisa terhindari.
            Namun pada kenyataannya, hal itu tidak pernah diberlakukan sehingga tidak jarang terjadi salah kerja dan salah faham antara sesama pelaksana PILKADA dalam satu tim. Kalau sudah seperti itu sama halnya dengan tidak siap atau kurang siap menyelenggarakan pemilihan umum daerah. Kasus kecil tersebut mungkin bagi sebagian orang tidak terlalu mengganggu proses pemilihan umum, namun bagi para saksi dari setiap calon, hal semacam itu sangat riskan dan sangat gampang memicu perselisihan. Karena tingkat kepercayaan saksi calon tidak semuanya sama dan karena ketidaksamaan itulah maka seharusnya panitia harus bisa berlaku adil melalui pengadaan cadangan pengganti pelaksana PILKADA yang berkepentingan sejenak. Agar proses pemilihan bisa berjalan maksimal dan kerja pelaksana pun bisa maksimal bersih dari segala macam tuduhan kecurangan.
2.3. Cara Mewujudkan Demokrasi Yang Berkualitas
            Sebuah upaya mewujudkan demokrasi yang berkualitas akan berakhir pada sebatas upaya semata tanpa follow up atau tindak lanjut bagaimana cara merealisasikan upaya yang telah dikonsep tersebut. Dalam hal ini ditawarkan beberapa cara untuk merealisasikan upaya yang telah dikonsep dengan harapan agar apa yang telah menjadi cita-cita bersama yaitu terwujudnya demokrasi yang demokratis melalui pemilihan umum yang jujur dan adil. Adapun cara yang dapat ditempuh untuk mewujudkan demokrasi yang demokratis adalah:
A.    Terapi UUD Perihal Pemilihan Umum Yang Jujur Dan Adil
Undang-undang dasar negara republik Indonesia tidak lagi menjadi peraturan yang diindahkan masyarakat. Jaminan hukum dan segala bentuk tata tertib yang termaktub didalamnya tidak lebih hanya sebatas formalitas administratif sebuah Negara. Bagaimana tidak jika permasalahan yang jelas-jelas diundang-undangkan dengan begitu gampangnya diabaikan. Pembangkangan sipil, pelanggaran hukum oleh masyarakat tanpa kekerasan untuk mempertahankan suatu prinsip penting atau kepentingan vital mempunyai tempat terhormat dalam sejarah demokrasi.. hal ini harus dibedakan dari pelanggaran hukum kriminal, dengan melihat keterbukaannya, tujuan politisnya, dan dengan melihat fakta bahwa mereka yang terlibat sama sekali tidak berusaha menghindari penindakan atau hukuman atas pelanggaran-pelanggaran mereka.
Oleh karenanya agar undang-undang yang telah dihasilkan secara konsensus kesefahaman dan konsensus kemusyawarahan bisa berjalan maksimal, maka perlu diadakan sebuah terapi ulang terhadap para pelaksana demokrasi dalam hal ini adalah PILKADA agar dihasilkan sebuah pemahaman mendalam tentang esensi sebuah undang-undang dasar sebagai ideologi bertindak dan berpijak. Terapi yang dimaksud adalah upaya penyembuhan pengentengan terhadap demokrasi karena tidak jarang para pelaksana menganggap demokrasi hanya sebagai media jembatani pemilihan kepala daerah.
Terapi yang seharusnya diterapkan adalah terapi bertahap dengan tahap awal memberikan pembelajaran dasar bagi para pelaksana PILKADA tentang dasar-dasar demokrasi, selanjutnya adalah memberikan suatu pelatihan analisis sosial (ansos) dengan harapan pelaksana PILKADA dapat melihat dan terjun langsung ditengah-tengah masyarakat sehingga mereka bisa dengan langsung menyaksikan realita sosial yang terjadi dalam masyarakat, kemudian disesuaikan dengan pelaksanaan secara teknis PILKADA dilapangan. Setelah pemberian materi ansos selanjutnya adalah karantina demokrasi. Karantina demokrasi disini dimaksudkan agar setelah melalui beberapa tahapan pembelajaran, para pelaksana PILKADA bisa mengaplikasikan seluruh pengetahuan yang telah diperoleh melalui ajang kompetisi. Dilihat dari makna kompetisi tersebut tentunya akan didapatkan pelaksana PILKADA yang benar-benar kompeten dan professional dalam hal pelaksanaan demokrasi. Selain itu kompetisi juga dimaksudkan agar para pelaksana PILKADA termotivasi untuk menjadikan demokrasi dalam PILKADA berjalan sukses dan terarah. Dengan catatan bahwa pelaksanaan terapinya harus tetap mengacu pada UUD 45 pasal 22 E ayat 1 bab VII B amandemen ketiga tentang pemilihan umum yang luber dan jurdil.
Dari ketiga tahapan terapi tersebut dimungkinkan terjadi semacam over lapping satu dengan lainnya, oleh karena itu, untuk menghindari masalah tersebut langkah antisipasi yang dapat dilakukan adalah menjadwal segala macam kegiatan yang telah terkonsep sehingga terkesan well preparation dan berjalan sesuai dengan prosedur. Jika tidak juga hal itu membuahkan hasil maka selanjutnya adalah pemberian shock terapi kepada para pelaksana PILKADA, adapun jenis-jenis shock terapi yang dapat diberlakukan adalah:
a.       Upaya Hukum atau Penberian Hukuman Kepada Para Pelanggar UUD 45 Pasal 22 E ayat I bab VII Amandemen Ketiga.
b.      Pemecatan secara tidak hormat kepada para pelanggar pelaksanaan PILKADA dari jabatan pemerintahan.
c.       Denda Langsung Tunai (DLT) berupa pembayaran secara tunai sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Keutuhan demokrasi dapat dipertahankan jika masyarakat mulai sadar posisi dan sadar peran serta sadar hukum. Sehingga bukan tidak mungkin kualitas demokrasi bisa diraih dengan catatan apa yang telah dibuat diberlakukan secara prosedural tanpa ada istilah tebang pilih antara si A atau si B.
B.     Memberi Piagam Penghargaan Berkelanjutan
Sebagaimana diuraikan dalam bab pemberian penghargaan diatas bahwasanya Dengan memberi nilai lebih pada bekerjanya institusi demokrasi melalui penambahan kebaikan atau berbagai kemuliaan nilai demokrasi untuk kebaikan bersama (public virtues). Hal ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari terapi pembentukan jiwa pelaksana PILKADA yang bersih dan adil serta jujur, penghargaan yang diberikan bukanlah penghargaan secara materi melainkan penghargaan dalam bentuk sanjungan kemulian yang dapat dimanifestasikan dalam bentuk pemberian piagam penghargaan atas dedikasi selama menjalankan proses demokrasi.
Tentunya dalam pelaksanaan pemberian penghargaan tersbut tidak secara merata bagi semua pelaksana PILKADA, namun secara berkelanjutan dimana dari proses pelaksanaan yang berkelanjutan tersebut bisa dijadikan percontohan bagi pelaksana PILKADA yang lain sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial dari berbagai daerah yang berbeda. Dari percontohan tersebut dapat diberlakukan prasyarat-prasyarat untruk mendapatkan piagam penghargaan sehingga semuanya berjalan lancar dan adil. Dalam artian adil manakala ada pelaksana PILKADA yang masih belum memenuhi syarat, maka tidak akan mendapat piagam penghargaan, sebaliknya manakala ada pelaksana PILKADA yang telah memenuhi syarat yang diberlakukan, maka selayaknya mendapat piagam penghargaan.
Untuk jangka panjang, penghargaan tersebut tentunya diharapkan tidak hanya berhenti sebagai piagam penghargaan semata, melainkan penghargaan itu dapat dipergunakan untuk kepentingan pelayanan publik semisal pelayanan pajak dan lain sebagainya yang berhubungan dengan hal pelayanan publik. Jika hal semacam pemberian penghargaan itu bisa dijalankan dengan baik maka akan sulit dijumpai pelaksana PILKADA yang acuh-tak acuh dalam menjalankan tugas, karena secara psikologi kewarganegaraan, warga Negara Indonesia adalah warga Negara yang haus akan penghargaan dan haus akan sanjungan. Hal itu tidak dapt dielakkan lagi kebenarannya, terbukti dengan masih berlakunya penyebutan gelar dibelakang nama yang masih sangat populer di Indonesia. Yang sebenarnya hal itu sudah tidak berlaku di negara luar.

C.    Diklat Tentang Demokrasi
Menjawab tentang pertanyaan Mengapa kita harus menjunjung tinggi demokrasi? jawabannya adalah
a.       Karena Kesetaraan Sebagai Warga Negara.
b.      Memenuhi Kebutuhan-Kebutuhan Umum
c.       Pluralisme dan Kompromi
d.      Menjamin Hak-Hak Dasar
e.       Pembaruan Kehidupan Sosial.
Mengingat banyaknya alasan dalam menjawab pertanyaan tersebut tentunya tidak cukup jika hanya dipelajari secara otodidak oleh segelintir orang saja. Oleh  sebab itu perlu adanya semacam pelatihan tentang demokrasi secara total. Dari diklat demokrasi tersebut akan dihasilkan berbagai macam pertanyaan terkait demokrasi yang mungkin belum pernah terpikirkan selama ini, contonya adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan umum. Dibandingkan dengan pemerintahan tipe lain, pemerintahan demokratis lebih mungkin untuk memenuhi kebutuhan rakyat-rakyat biasa. Semakin besar suara rakyat dalam menentukan kebijakan, semakin besar pula kemungkinan kebijakan itu mencerminkan keinginan dan aspirasi-aspirasi mereka. “tukang sepatu membuat sepatu”, kata pepatah Athena kuno, “tetapi hanya si pemakailah yang bisa mengatakan di bagian mana sepatu itu menggencet”. Rakyat biasalah yang merasakan pengaruh kebijakan-kebijakan pemerintah dalam prakteknya, dan kebijakan pemerintah dapat mencerminkan keinginan rakyat hanya jika ada saluran-saluran pengaruh dan tekanan yang konsisten dan efektif dari bawah. Betapapun baiknya niat para penguasa, jika mereka menafikan pengaruh atau kendali rakyat, maka ada dua kemungkinan buruk yang akan terjadi, yang pertama adalah kebijakan-kebijakan mereka (penguasa) tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan rakyat, dan kemungkinan yang kedua adalah yang lebih buruk yaitu kebijakan-kebijakan itu korup dan hanya melayani kepentingan penguasa sendiri. (baca 80 Tanya jawab demokrasi).
Hal semacam itu tidak akan pernah diketahui oleh para pelaksana PILKADA karena pada dasarnya, mereka hanya menjalankan tugas dan tidak mau tahu apa sebenarnya yang rakyat tuntut dan harapkan dibalik kinerja mereka sebagi pelaksana demokrasi. Pemberian diklat demokrasi mungkin akan merubah istilah bahwa pelaksana PILKADA hanya bisa menjalankan tugas tapi sebenarnya tidak tahu makna dibalik tugasnya menjadi pelaksana PILKADA yang mumpuni yang mewakili keinginan-keinginan dan tuntutan rakyat kecil. Dari diklat demokrasi itu pula akan dihasilkan atau dicetak sosok pelaksana yang handal dan kompeten menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar demokrasi sehingga kesangsian masyarakat tentang demokrasi yang sebenarnya bisa tercerahkan dengan jawaban-jawaban sosialis bukan jawaban-jawaban diplomatis guna menyelamatkan demokrasi yang sebenarnya tidak berada dalam posisi bersalah, karena sebenarnya yang bermasalah adalah pelaksana demokrasi itu sendiri bukan demokrasinya.
 














BAB III
PENUTUP
            Kesimpulan
Kualitas demokrasi di Indonesia masih sangat jauh mencapai standard kualitas yang ditetapkan pemerintah, contoh kasus adalah pada proses pemilihan umum daerah Jawa Timur dimana pada tahap awal pemilihan gubernur Jawa Timur secara statistik tercatat sebanyak 40% masyarakat Jawa Timur yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam PILGUB (pemilihan gubernur) 2008. Kenyataan itu menunjukkan bahwa kualitas demokrasi di Jawa Timur jauh berada dibawah standard kulitas demokrasi. Beberapa hal yang telah disebutkan dari penyebab kemerosotan kualitas demokrasi khususnya di Jawa Timur adalah sebagai berikut:
1.      Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap janji-janji pemerintah utamanya para calon pemegang kekuasaan.
2.      Kekecewaan masyarakat terhadap para pelaksana pemilihan umum daerah (PILKADA)
3.      Minimnya informasi tentang PILKADA
Setelah melihat beberapa faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa Jawa Timur masih belum pantas dan masih belum siap untuk melaksanakan proses demokrasi. Namun hal itu bisa ditepis jika para pelaksana PILKADA dalam hal ini adalah pemilihan umum daerah Jawa Timur mau introspeksi kinerja dan mau mengadakan evaluasi total dalam pelaksanaan demokrasi. Ada beberapa upaya yang ditawarkan agar kualitas demokrasi di Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur khusunya bisa terdongkrak kembali. Adapun beberapa tawaran upaya tersebut adalah
1.      Pemberian Penghargaan
2.      Meningkatkan Pendidikan Demokrasi Masyarakat
3.      Memaksimalkan Kinerja KPU Dalam Bingkai Hukum
Itulah ketiga upaya yang ditawarkan guna mewujudkan demokrasi yang berkualitas demi keberlangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia dimana untuk mendukung upaya tersebut telah pula dipaparkan bagaimana cara merealisasikannya, yaitu:
1.      Terapi UUD Perihal Pemilihan Umum Yang Jujur Dan Adil
2.     

17
 
Memberi Piagam Penghargaan secara berkelanjutan.
3.      Diklat tentang demokrasi
Diharapkan dari upaya dan cara pengaktualisasian tersebut proses demokrasi di Indonesia bisa berjalan lancar jujur dan adil utamanya dalam menyongsong proses pemilihan gubernur tahap kedua nanti.
            Saran
Saran penulis terkait dengan dibuatnya karya tulis ini tidak terlepas dari niat dan cita-cita luhur menciptakan masyarakat madani, masyarakat sejahtera, masyarakat terdidik melalui pemilihan umum daerah yang nantinya akan menghasilkan pemimpin yang demokratis, pemimpin yang tidak apatis, pemimpin yang populis dan semua itu akan bisa diraih hanya dengan satu kesefahaman antara kedua belah pihak yaitu masyarakat kecil dan para pemegang kekuasaan termasuk pelaksana PILKADA. Oleh karena itu disarankan kepada semua yang merasa memiliki kepentingan untuk meningkatkan kualitas demokrasi agar:
1.      Hendaknya menjalankan tugas sebagai pelaksana PILKADA dan pemegang kekuasaan dengan jujur, adil dan amanah.
2.      Mendahulukan kepentingan masyarakat luas diatas kepentingan pribadi sesuai dengan asas kekeluargaan dan asas musyawarah
3.      Bersikap terbuka dan demokratis dalam menghadapi permasalahan yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil.
4.      Hendaknya lebih peka dan sensitive mengatasi masalah-masalah demokrasi yang semakin lama semakin tidak terkontrol
5.      Hendaknya tidak hanya memberikan janji-janji hampa kepada masyarakat kecil melalui kebijakan-kebijakan individual money oriented 
Begitu pula untuk masyarakat, seharusnya masyarakat tidak hanya selalu bisa menuntut dan menghakimi bebas para pelaksana PILKADA dan pemegang kekuasaan. Karena mereka juga manusia yang mempunyai batas kemampuan dan mempunyai batas maksimal kekuatan untuk berbuat yang lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat kecil. Hendaknya masyarakat mulai sadar bahwa kehidupan yang lebih baik atau masyarakat madani tidak serta merta akan terwujud hanya apabila mengandalkan kemampuan pemerintah tanpa dukungan dan bantuan masyarakat kecil. Oleh karena itu disarankan kepada masyarakat kecil agar:
1.      Bersikap lebih tenang dalam menerima isu-isu kerakyatan yang bersifat provokatif
2.      Bersikap adil dalam menuntut keadilan.
3.      Hendaknya tidak hanya bisa menuntut, tapi juga bisa memberikan kontribusi pemikiran guna kehidupan yang lebih baik.
















BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Beetham David dan Boyle Kevin, 2000 Demokrasi 80 tanya jawab. Kanisius
Anwar Fuad.H , 2004 Melawan Gusdur. Cetakan kedua. Pustaka Tokoh Bangsa.
Azra Azyumardi.DR., 2002 Reposisi Hubungan Agama dan Negara. Kompas.
Hasanudin; Visiting Researcher Kumamoto University, Jepang http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
Trijono Lambang, 2008 Kualitas Pemilu 2009, Kompas Yogyakarta






20
 

MENCETAK PESERTA DIDIK YANG LEBIH BERTANGGUNG JAWAB MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN TPS (THINK, PAIR, SHARE)


MENCETAK PESERTA DIDIK
YANG LEBIH BERTANGGUNG JAWAB MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN TPS (THINK, PAIR, SHARE)





Oleh:
SUPIAN SYAH
205.07.3.0107












JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2008


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis gelar panjatkan kepada Allah SWT yang telah dan selalu memberikan rahmat berupa kekuatan mental jasmani maupun rohani sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul “mencetak peserta didik yang lebih bertanggung jawab melalui strategi pembelajaran TPS (Think, Pair, Share)” ini dengan baik, meskipun disana sini masih banyak terdapat kekurangan terutama dalam sisitematika penulisan karya tulis ilmiah ini. Dapat dipastikan bahwa tanpa pertolongan-Nya tidak mungkin pennulis yang hina dan selalu salah ini mamu menyelesaikan kata-demi kata dalam setiap kalimat panjang karya tulis ilmiah ini.
Sholawat serta salam senantiasa penulis syairkan kepada junjungan agung, penyampai risalah terakhir, sang penyeru amar ma`ruf nahi mungkar, sang revolusioner dunia sejati yang telah merubah dunia menjadi lebih bermartabat, yang telah membimbing umatnya menjadi berakhlaqul karimah. Tiada lain adalah nabi besar Muhammad SAW yang selalu dinanti-nantikan syafa`atnya kelak dihari yaumul qiyamah.
Penghargaan yang sebesar-besarnya penulis dedikasikan kepada kedua orang tua yang telah sudi berkorban tenaga, doa, biaya, rasa hina dan derita demi masa depan anak-anaknya, sehingga penulis dapat menikmati dan mengenyam bumbu-bumbu pendidikan perguruan tinggi UNIVERSITAS ISLAM MALANG dengan segala macam bentuk kesederhanaan. Semoga amal baik dan niat suci nan luhur kedua orang tua penulis layak mendapatkan balasan surga firdaus-Nya. Amien
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua sahabat-sahabati pergerakan mahasiswa islam Indonesia (PMII) Rayon Al-kindi komisariat UNISMA utamanya kakanda shoim asyari yang telah menjadi api motivasi, air penyejuk hati serta tanah pijakan kaki, yang senantiasa sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis baik secara organisasi maupun secara privasi, secara langsung ataupun tidak langsung demi terselesaikannya karya tulis ilmiah ini.
Terakhir, penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik konstruktif dan saran kreatif selalu penulis harapkan sebagai bahan masukan dan referensi pembelajaran guna kesempurnaan penyusunan karya tulis ilmiah yang akan dating. Akhir kata penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini bisa mendatangkan manfaat dan bisa menambah khasanah berpikir keilmuan bagi semua pihak yang sudi membuka lembar-demi lembar karya tulis ilmiah ini.





























BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang Masalah
Pupuslah sudah harapan pemerintah khususnya kementrian yang mengurusi masalah pendidikan dalam hal ini adalah Bambang Sudibyo sebagai mentri pendidikan untuk menciptakan pendidikan yang lebih bermutu. Kurikulum KTSP atau yang lebih populer dengan istilah kurikulum 2007 tidak mampu mewujudkan hal tersebut. Banyak kerancuan yang terjadi dalam implementasi kurikulum KTSP, salah satunya adalah ketidaksiapan peserta didik dan tenaga pendidik, sehingga yang terjadi adalah kebingungan tentang bagaimana peserta didik harus belajar dan bagaimana tenaga pendidik harus mengajar. Hal itu tidak dapat dipungkiri lagi kejadiannya. Selama ini proses belajar mengajar di Indonesia masih jauh dari kata memajukan dan masih belum pantas dikatakan maju. Bagaimana tidak, jika esensi pendidikan `memanusiakan manusia` sama sekali tidak tersentuh dalam kurikulum terbaru KTSP sehingga tidak salah jika selama ini banyak pendapat yang mnengatakan bahwa KTSP adalah Kurikulum Tidak Siap Pakai bukan lagi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Banyak bukti mengindikasikan ketidakberhasilan kurikulum KTSP, salah satunya adalah tingkat kemandirian dan kebertanggungjawaban peserta didik. Dari segi tanggung jawab misalnya. Ditetapkannya kurikulum KTSP memberikan hawa kebebasan kepada peserta didik dalam berkreasi. Sekilas strategi tersebut memang cukup efisien dan efektif untuk diberlakukan mengingat tuntutan jaman akan manusia-manusia kreatif. Namun yang menjadi kendala sekaligus problema adalah minimnya tanggung jawab, artinya bahwa ketika peserta didik diminta untuk mempresentasikan hasil kreasinya, seringkali peserta didik mati langkah dan bingung harus menjelaskan apa, karena proses kreatif yang mereka lakukan merupakan hasil pemikiran orang lain bukan murni kreasinya sendiri. Dan lagi-lagi bukannya kreativitas yang akan mereka dapatkan, melainkan kebingungan yang pada akhirnya berlanjut pada sikap malas belajar.
Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, pemerintah sudah terlanjur menetapkan dan mengesahkan kurikulum KTSP sebagai kurikulum standar pendidikan Indonesia, dan mau ataupun tidak mau, siap atau tidak siap, peserta didik harus pasrah menjalaninya. Begitu pula dengan tenaga pendidik, mereka harus berupaya keras mencari dan menciptakan strategi-strategi baru guna antisipasi sikap malasisme peserta didik. Terkait dengan strategi pembelajaran, sengaja penulis mengangkat strategi pembelajaran TPS (Think, Pair, Share) sebagai upaya filterasi atau sebagai pembendung sikap malasisme peserta didik terhadap sistem belajar ala kurikulum KTSP.
Terlepas dari kepentingan politik, penulis memilih strategi TPS sebagai latar belakang dari penulisan makalah ini sebagai salah satu bentuk keprihatinan sekaligus ungkapan duka cita yang mendalam terhadap wajah pendidikan Indonesia yang rusak-rusakan sebagaimana Darmaningtyas katakan dalam salah satu bukunya yang berjudul `Pendidikan Rusak-Rusakan`. Bahkan bisa dikatakan bahwa pendidikan Indonesia tidak berwajah lagi. Alasan lain mengapa penulis memilih strategi TPS adalah faktor image atau nama baik pendidikan Indonesia yang dulunya disanjung-sanjung dan sempat dijadikan kiblat oleh Negara jiran, sekarang malah kehilangan kendali dan sudah tidak bargain atau tidak meiliki nilai jual lagi.
Dari kedua alasan tersebut, penulis berasumsi bahwa demi terangkatnya kembali citra pendidikan Indonesia yang sudah tidak naik daun lagi, maka dipandang perlu untuk dilakukan upaya problem solving yang termanivestasikan dalam bentuk makalah berisikan strategi pembelajaran yang diharapkan mampu mencetak peserta didik yang lebih bertanggung jawab, peserta didik yang lebih semangat belajar, peserta didik yang benar-benar aktif, kreatif, produktif dan peserta didik yang lebih terdidik. Hal itulah yang melatar belakangi penulis dalam menulis makalah ini.

1.2.  Rumusan Masalah
Sesuatu yang diasumsikan sebagai masalah, tidak cukup hanya berhenti pada pernyataan asumtif semata. Perlu sebuah pembahasan lebih lanjut tentang masalah dimaksud. Oleh karena masalah mempunyai ruang lingkup universal, maka penulis mencoba merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.      Apa yang harus dipersiapkan terlebih dahulu dalam strategi pembelajaran TPS?
2.      Siapakah yang berperan aktif dalam strategi pembelajaran TPS?
3.      Kapan strategi pembelajaran TPS bisa diterapkan?
4.       Bagaimana cara penerapan strategi pembelajaran TPS dalam proses belajar mengajar?
5.      Apakah kontribusi strategi pembelajaran TPS terhadap perkembangan peserta didik?
Dari ke lima rumusan masalah yang tercover dalam bentuk pertanyaan diatas, diharapkan nantinya tidak akan ada semacam overlapping atau tumpang tindih antara apa, bagaimana, dan siapa yang berhak dan berkewajiban terhadap upaya implementasi strategi pembelajaran TPS (Think, Pair, Share).

1.3.  Tujuan
Untuk menambah kejelasan makalah ini, penulis mempunyai beberapa tujuan terkait dengan latar belakang dan rumusan masalah diatas. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Agar semua pelaku pendidikan baik peserta didik maupun tenaga pendidik faham akan langkah apa saja yang harus dipersiapkan terlebih dahulu sebelum bermain-main dengan strategi pembelajaran TPS.
  2. Memberikan pengertian terhadap peserta didik bahwa dalam proses belajar mengajar guru bukanlah subjek tunggal yang harus selalu bersikap proaktif.
  3. Untuk memberikan informasi tentang waktu yang tepat untuk menerapkan strategi pembelajaran TPS.
  4. Memberikan informasi lengkap tentang bagaimana proses kerja melalui strategi pembelajaran TPS dalam kegiatan belajar.
  5. Memberikan kontribusi atau sumbangsih terhadap dunia pendidikan sehingga para peserta didik dapat lebih bertanggung jawab melalui strategi pembelajaran TPS.

1.4.  Manfaat
Dari ke lima tujuan terkait pembuatan makalah ini, penulis mempunyai beberapa harapan manfaat yang akan dihasilkan strategi pembelajaran TPS dalam upaya mendongkrak kualitas pendidikan Indonesia. Beberapa manfaat yang dapat diharapkan adalah sebagai berikut:
  1. Semoga para pelaku pendidikan baik peserta didik maupun tenaga pendidik mengerti tentang apa yang harus dipersiapkan terlebih dahulu sebelum memulai menggunakan strategi pembelajaran TPS.
  2.  Semoga strategi pembelajaran TPS dapat memberikan kesadaran terhadap peserta didik bahwa proses mencetak peserta didik untuk bisa lebih baik tidak serta merta merupakan tanggung jawab tenaga pendidik, melainkan juga bagaimana peserta didik dapat berperan aktif secara tidak langsung melalui sebuah strategi pembelajaran yang lebih bebas terarah.
  3. Semoga dengan diberlakukannya strategi pembelajaran TPS ini, para pelaku pendidikan baik peserta didik maupun tenaga pendidik bisa bersama-sama merumuskan kapan waktu yang tepat untuk menerapkan sebuah metode baru yang notabene construct oriented demi kenyamanan dan keharmonisan suasana pembelajaran.
  4. Semoga para pelaku pendidikan bisa mengerti sekaligus memahami bagaimana cara menerapkan strategi pembelajaran TPS dengan baik dan benar sebagai upaya menghindari overlapping atau tumpang tindih dalam proses belajar mengajar didalam kelas sehingga dapat meminimalisir strategi pembelajaran yang membosankan dan terlalu monoton.
  5. Semoga strategi pembelajaran TPS bisa memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan dan kemajuan berpikir, berdiskusi dan management problem peserta didik, utamanya dalam mencetak peserta didik yang lebih bertanggung jawab.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Strategi Pembelajaran TPS (Think, Pair, Share)
            Think, Pair, Share is a structure first developed by Professor Frank Lyman as continuing of co-operative learning (Professor Frank Lyman at the university of Maryland in 1981). TPS adalah strategi pembelajaran sebagai kelanjutan dari metode pembelajaran co-operative learning, namun yang membedakan adalah aktivitas yang diperuntukan bagi peserta didik dalam proses belajar mengajar. Point penting yang terdapat dalam strategi ini adalah Think, Pair, Share.

            Think atau dalam bahasa Indonesia berarti berpikir adalah suatu proses mengerti dari asal mula ketidak mengertian atau kebingungan. Artinya bahwa terkait dengan pendidikan, maka peserta didik melakukan proses berpikir untuk mencerna suatu hal atau suatu masalah sampai pada akhirnya didapatkan suatu kemengertian terhadap hal atau masalah dimaksud. (http://www.wcer.wisc.edu/archive/cll/CL/doingcl/thinksq.htm)

            Pair dalam bahasa Indonesia berarti berpasangan. Artinya bahwa baik peserta didik maupun tenaga pendidik memerlukan partner atau rekan pasangan sebagai objek transformasi ilmu dari suatu proses pemikiran.

Share atau dalam bahasa Indonesia berarti berdiskusi, tukar pemikiran, curhat, mempunyai arti bahwa setelah peserta didik melakukan proses berpikir dan mentransformasikan hasil pemikiran dengan rekan atau pasangan kita, maka peserta didik juga memerlukan satu aktivitas yang dapat menopang hasil dari pikirannya, apakah sesuai dengan kondisi yang ada atau konteks permasalahan atau tidak sehingga ditemukan suatu titik temu dan kesefahaman tentang suatu masalah secara mendetail dan mendalam lagi.

Jadi TPS (Think, Pair, Share) adalah suatu strategi yang memadukan antara tiga komponen daya peserta didik menjadi satu kemampuan dengan lebih efisien, yang mana diantara ketiga komponen tersebut saling berhubungan atau terdapat hubungan korelasi kausalitas yang erat yang akan menghasilkan ketergantungan dan kebertanggungjawaban terhadap suatu masalah. Adapun kemampuan yang diharapkan mampu dimiliki oleh peserta didik dalam implementasi strategi TPS ini adalah:

  1. Sharing Information (Tukar Informasi)
Dalam upaya implementasi strategi TPS diharapkan peserta didik mempunyai kemampuan sharing information atau tukar informasi tentang suatu masalah sebagai pembuktian awal antusiasme peserta didik terhadap proses pembelajaran. Tentunya hal itu tidaklah cukup hanya dengan sebuah pembuktian secara mendetail dalam pembahasan masalah yang dipermasalahkan. Artinya bahwa setiap peserta didik diharapkan mampu membedah suatu masalah secara mendetail menyentuh pada hal-hal yang lebih urgent selain hanya bagian permukaan masalah tersebut.

  1. Processing Information (Mengolah Informasi)
Setelah peserta didik memiliki kemampuan sharing information, selanjutnya yang diharapkan adalah kemampuan processing information atau mengolah informasi yang mana pada tahap ini peserta didik dituntut lebih peka dan lebih kreatif lagidalam mengolah informasi yang awalnya masih bersifat bias dan terasa masih tabu serta global menjadi lebih terfokus dan lebih mengkrucut atau spesifik lagi.

  1. Developing Thinking (Pengembangan Pikiran)
Rumor bahwa peserta didik identik dengan kata malas berpikir panjang sudah tak terbantahkan lagi. Terbukti dengan sikap menggantungkan pemikiran (nebeng pemikiran) terhadap satu orang yang dianggap seolah-olah lebih mampu. Dari fenomena seperti itu dapat ditarik sebuah asumsi dasar bahwa peserta didik tidak bertanggung jawaqb atas beban masalah yang ditanggungkan. Dalam hal ini fungsi strategi TPS sangat penting karena dalam implementasinya peserta didik tidak hanya mampu mendiskusikan atau saling tukar informasi dan mengelola informasi, akan tetapi lebih dari itu adalah pengembangan pemikiran sehingga kemampuan berpikir peserta didik diusahakan sebisa mungkin dalam upaya pengembangan kerangka berpikir yang lebih rasional, logikal, dan transformal.

Dengan beberapa kemampuan tersebut, besar kemungkinan peserta didik akan lebih tertarik dan lebih bertanggung jawab lagi terhadap tugas yang dibebankan oleh tenaga pendidik. Selain itu dengan dengan kemasan pembelajaran yang lebih mengasyikkan dan lebih menantang besar kemungkinan pula peserta didik akan lebih focus dan konsentrasi dalam mengikuti setiap episode pembelajaran.




















BAB III
PEMBAHASAN
Apa yang Harus Dipersiapkan Terlebih Dahulu dalam strategi pembelajaran TPS?
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa dalam menerapkan sebuah strategi hendaknya terlebih dahulu diadakan sebuah pemikiran panjang yang melibatkan banyak pihak utamanya adalah para pelaku pendidikan dalam hal ini adalah tenaga pendidik dan peserta didik, karena walau bagaimanapun kedua icon pendidikan itulah yang lebih mengetahui dan memehami apa saja yang menjadi kendala dalam menerapkan sebuah strategi pembelajaran. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan perbandingan dan bahan evaluasi guna menuju perubahan pola pembelajaran yang lebih baik yang lebih menekankan kepada tingkah laku dan kebiasaan peserta didik.
Dalam strategi pembelajaran TPS apa yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu tidaklah terlalu penting, karena dalam strategi ini baik peserta didik maupun tenaga pendidik cukup mempersiapkan semangat dan motivasi belajar agar nantinya dapat menyerap ilmu-ilmu pendidikan yang akan ditransfer melalui strategi pembelajaran TPS dengan melibatkan semua peserta didik tanpa terkecuali.
Namun selain kedua unsur penting yang harus dipersiapkan seperti yang telah disebutkan diatas, hal atau unsur penunjang yang teramat penting yang perlu untuk dipersiapkan untuk menunjang kedua unsur tersebut adalah
1.      Niat Belajar
Pada tanggal 16 agustus 2004 silam, Wardiman djoyonegoro mantan mentri pendidikan nasional dalam wawancaranya denagn stasiuhn televisi pendidikan indonesia (TPI) mengemukakan bahwa ada tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat memberikan kontiribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia, meliputi sarana gedung, buku yang berkualitas, dan tenaga pendidik yang yang profesional. (Dr. E. Mulyasa, M.Pd.). dari pernyataan tersebut ada sinyalemen kuat yang menduga bahwa seakan-akan progres tidaknya suatu pendidikan semata-mata merupakan tugas dan tanggung jawab seorang guru atau tenaga pendidik. Padahal jika kita dianosis secara mendalam, tugas guru atau tanaga pendidik hanyalah sebagai transformator, fasilitator, motivator dan atau tor-tor yang lain terlepas dari empat kompetensi dasar (kompetensi profesionalisme, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial dan kompetensi individual) yang harus dimiliki oleh seorang tenaga pendidik, sebenarnya berhasil tidaknya atau kuat tidaknyua bangunan pendidikan suatu negara juga sangat bergantung kepada sikap peserta didik. Dalam artian bahwa bagaimana peserta didik memaknai pendidikan itu sendiri, karena tidak semua peserta didik paham akan posisinya sebagai icon utama dalam dunia pendidikan hubungannya dalam hal ini adalah niat belajar. Selama ini banyak dari peserta didik yang hanya sekedar mengikuti proses pembelajaran tanpa niat yang tulus dan tekat yang bulat untuk mencapai puncak tertinggi ilmu pelajaran. dari situlah sebenarnya awal dari problematika mengapa pendidikan di Indonesia tidak kunjung memberikan kontribusi terhadap perkembangan sumber daya manusia Indonesia. Sehingga apapun bentuk metode pembelajaran, kurikulum pendidikan dan terapi-terapi yang diberikan atau diberlakukan tidak cukup kuat untuk menembus dinding pertahanan niat setengah hati para peserta didik.
Oleh karenanya, apapun bentuk metode pembelajaran yang akan digunakan dalam proses belajar mengajar lebih-lebih dalam strategi pembelajaran TPS yang mempunyai tujuan penting dalam mencetak peserta didik yang lebih bertanggung jawab, unsur pertama dan utama yang perlu menjadi prioritas utama adalah niat belajar peserta didik, apakah peserta didik mempunyai niatan yang tulus dalam menerima pelajaran, apakah peserta didik memiliki tekat yang bulat untuk bisa menerima pelajaran.
2.      Kemauan dan kesadaran
Pada pasal 39 ayat 1 dan 2 undang-undang sistem pendidikan nasional tentang guru yang berbunyi “tenaga kependidikan bertugas melaksanakan tugas administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan”.(ayat 1). “pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksankan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. (ayat 2).
Dari kedua ayat tersebut diatas, baik pada ayat 1 maupun ayat 2 tidak ditemukan satu kata kesadaran dan kemauan. Semuanya lebih menekankan kepada hal yang bersifat teknis dan sistem yang semu. Mengapa demikian? Karena baik ayat 1 maupun ayat 2 tidak mementingkan bagaimana tenaga pendidik dapat menjadi seorang pendidik yang benar-benar mau dan benar-benar sadar untuk memberikan ilmu kepada peserta didik. Lagi-lagi pemerintah terpelosok dalam kepandaiannya membuat suatu sistem yang dianggap sangat jitu untuk membuat suatu perubahan. Pemerintah mengabaikan esensi dasar dalam proses transformasi ilmu yaitu kemauan dan kesadaran. Terkesan bahwa sistem yang diberlakukan oleh pemerintah melalui undang-undang guru hanyalah bersifat menggugurkan kewajiban sebagai tenaga pendidik tanpa mengimbangi dengan kemauan tenaga pendidik tersebut dalam memberikan ilmu, karena trend yang masih hangat saat ini adalah banyak tenaga pendidik yang mengikuti pelatihan-pelatihan kependidikan dengan tujuan sertifikasi bukan dengan tujuan suci pendidikan. Terlihat jelas indikator yang kemudian ditimbulkan adalah maunya tenaga pendidikan dalam mengikuti pelatihan-pelatihan bukanlah untuk kepentingan pembelajaran melainkan maunya demi mendapatkan sertifikat sebagai prasyarat sertifikasi.
Oleh karena itu, untuk semua guru hendaknya mau dan sadar betapa besarnya jasa seorang guru demi pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas. Mau untuk bersama-sama peserta didik dalam menentukan hal terbaik untuk mencetak pelaku pendidikan yang bermutu, sadar bersama-sama peserta didik dalam menentukan hal terbaik yang dapat diberlakukan dalam dunia pendidikan seperti contoh strategi pembelajaran. Jadi kemauan dan kesadaran tenaga pendidik dalam menyampaikan strategi pembelajran pada peserta didik menjadi unsur yang sangat penting untuk memberikan motivasi terhadap peserta didik untuk terus menggebu-gebu menapaki dunia pendidikan yang tak akan pernah berhenti pada satu titik stagnasi selama manusia memijakkan kaki dalam dunia ini.

Siapakah yang Berperan Aktif Dalam Strategi Pembelajaran TPS?
Kalau dalam dunia tinju kita mengenal istilah petinju, manager, promotor dan lain sebagainya, maka lain halnya dengan dunia pembelajaran khususnya dalam penerapan strategi pembelajaran TPS. Dalam penerapan strategi pembelajaran TPS para pelaku aktif yang mutlak adanya adalah tenaga pendidik atau guru dan peserta didik atau siswa.
1.      Tenaga pendidik (guru)
Dalam proses belajar mengajar, peran tenaga pendidik sangat besar dituntut untuk memberikan stimulus terhadap peserta didik. Diluar peran dan fungsinya sebagai media atau fasilitator proses transformasi ilmu. Kaitannya dengan strategi pembelajaran TPS, peran tenaga pendidik sangat dibutuhkan dalam mengatur jalannya strategi pembelajaran TPS dimaksud atau dengan kata lain tenaga pendidik adalah bank informasi yang bersifat super. Adapun yang harus seorang tenaga pendidik lakukan dalam implementasi strategi TPS adalah:
Ø  Terlebih dahulu guru membagi peserta didik menjadi kelompok berpasangan dengan masing-masing kelompok beranggotakan dua orang sesuai dengan istilah pair dalam strategi  pembelajaran TPS (Think, Pair, Share).
Ø  Selanjutnya yang perlu dilakukan oleh guru setelah membagi siswa dalam beberapa kelompok berpasangan adalah menentukan topik yang nantinya adakan didiskusikan dalam masing-masing kelompok.
Ø  Sebelum menentukan masalah, guru terlebih dahulu harus membagi 2 orang dalam kelompok masing-masing untuk mewakili home group dalam expert group. Dengan menandai masing-masing siswa dengan adjad atau angka.
Ø  Setelah membagi masing-masing orang menjadi wakil dalam expert group, guru memberikan waktu kepada semua siswa untuk berpikir sejenak terkait dengan masalah atau topik yang akan didiskusikan sesuai dengan point think dalam strategi pembelajaran TPS (Think, Pair, Share)
Ø  Setelah waktu berpikir telah selesai, guru memepersilahkan dua orang dalam satu kelompok untuk berpencar dan bergabung dengan home group sesuai dengan tanda yang telah ditentukan untuk kemudian melakukan proses sharing sesuai dengan point share dalam strategi pembelajaran TPS (Think, Pair, Share).
Ø  Setelah proses sharing selesai selanjutnya guru mempersilahkan masing-masing siswa untuk kembali kepada kelompok semula dan melaporkan hasil dari diskusi yang telah disepakati dalan home group dalam kelompok pasangannya secara bergantian.
2.       Peserta didik (Siswa)
Adapun peran peserta didik dalam penerapan strategi pembelajaran TPS ini adalah
Ø  Siswa atau peserta didik harus mengikuti prosedur yang telah diberlakukan oleh tenaga pendidik demi lancarnya penerapan strategi TPS.
Ø  Siswa atau peserta didik harus bertanggung jawab atas masalah yang telah ditentukan oleh tenaga pendidik atau guru.
Ø  Siswa atau peserta didik dalam perannya sebagai expert, harus melaporkan hasil diskusi dan sharing yang telah disepakati dalam kelompok expert sekembalinya dari home group. Kepada pasangan kelompokmya.
Ø  Siswa atau peserta didik harus mempertanggung jawabkan pernyataan yang merupakan kesepakatan dalam home group kepada pasangan kelompoknya jika terdapat pertanyaan terkait dengan masalah yang didapat oleh masing-masing siswa.
Ø  Siswa atau peserta didik harus menuliskan hasil sharing sebagai formalitas bahwa semua siswa antusias dan bersungguh-sungguh dalam mengikuti strategi pembelajaran TPS.
Ø  Apabila dianggap perlu dan memungkinkan siswa atau peserta didik harus mempresentasikan hasil diskusi bersama didepan guru dan teman-teman satu kelas.

Kapan Strategi Pembelajaran TPS Bisa Diimplementasikan?
Mempertanyakan tentang kapan seharusnya waktu yang tepat untuk menerapkan strategi pembelajaran TPS, maka hal tersebut terkait erat dengan situasi, kondisi dan domisili atau lebih akrab dengan sebuah akronim SIKONDOM sebagaimana yang telah diterapkan oleh seorang guru mata pelajaran komputer pada tingkatan sekolah menengah atas (SMA) dimana dalam proses penerapan strategi TPS, guru tersebut memberikan kejutan-kejutan baru yang tentunya berkaitan langsung dengan materi dan ternyata kejutan tersebut bisa memberikan dampak positif bagi tingkat pemahaman siswa terhadap materi, terbukti dengan lima siswa yang dapat menguasai materi komputer dalam waktu yang terbilang cepat.
Adapun beberapa kejutan yang telah dibuktikan oleh guru komputer tersebut, berikut adalah ulasan ceritanya.
“Kejutan pertama saya memberikan materi yang belum pernah saya ajarkan kepada siswa secara mendadak. Setelah materi saya berikan siswa saya minta untuk bersama-sama mendiskusikan tentang materi baru tersebut. Kejutan tersebut ternyata membuat saya balik terkejut karena ternyata ada beberapa siswa yang telah mengetahui materi tersebut, sehingga ketika dia dihadapkan pada materi yang sama dia merasa sudah bisa”
“Untuk kejutan kedua, setelah saya memberikan materi baru yang ternyata sudah ada siswa yang mengetahui tentang materi itu, selanjutnya saya memberikan waktu kepada 2 atau 3 siswa yang belum tau untuk menanyakan kepada siswa yang tahu dengan alokasi waktu yang tidak terlalu singkat dan tidak pula terlalu lama. Dari alokasi waktu yang saya berikan ternyata siswa yang awalnya tidak tahu menjadi tahu atas bantuan siswa yang tahu tersebut dengan batasan waktu yang lebih efisien dari pada saya harus menjelaskan didepan kelas”.
“Selanjutnya untuk kejutan yang ketiga 2 atau 3 siswa yang sudah mendapat informasi tersebut saya minta agar memberitahu temannya yang lain yang masih belum tahu, sehingga peran saya sebagai fasilitator benar-benar berjalan sesuai dengan fungsinya. Dan satu hal yang menjadi catatan penting saya bahwa dengan diterapkan strategi seperti itu para siswa akan lebih bertanggung jawab atas tugasnya dan ternyata siswa lebih cepat menangkap materi yang disampaikan oleh temannya sendiri dari pada oleh guru dengan asumsi bahwa seorang teman bisa dijadikan tempat curhat dan berbagi ilmu tanpa batasan waktu dan untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti lebih enak tanpa harus merasa malu ataupun sungkan”.
“Biasanya untuk kejutan terakhir saya mengajak semua siswa untuk duduk bersama mendengarkan penjelasana dari saya seputar materi dan biasanya saya mengajak semua siswa untuk duduk diatas lantai tanpa harus selalu duduk diatas bangku dengan alasan bahwa dengan posisi duduk yang sama antara guru dan siswa akan memberikan efek kebersamaan dan efek kerjasama yang sangat kental dari pada hrus duduk diatas bangku dimana dibatasi oleh jarak dan peluang untuk merengganglan otot-otot kaki yang kaku sangat kecil kemungkinannya. Pada saat itulah saya menanyakan kepada semua siswa saya terkait dengan kejutan pertama, kedua dan ketiga tentang masalah yang mereka hadapiu selama menerima informasi dari temannya. Dan hasilnya cukup memuaskan, para siswa sangat antusias menceritakan kelemahan-kelemahan mereka dalam menangkap materi dan hal yang lebih mengejutkan saya adalah ternyata sebelum saya tanggapi ada 1 atau 2 siswa yang memberikan masukan atau jawaban terkait dengan masalah yang dialami oleh temannya sehingga mereka dapat saling bertukar pengalaman, bertukar ilmu dan bertukar cerita terkait dengan masalah yang mereka hadapi”.
Dari ulasan cerita seorang guru komputer diatas dapat kita kerucutkan bahwa untuk menerapkan sebuah strategi pembelajaran dimana didalamnya akan lebih banyak melibatkan peran serta dan keaktifan siswa lebih-lebih dalam strategi TPS, tidak terpaku kepada waktu tepat yang bersifat keharusan karena semuanya bisa dikondisionalkan dengan kondisi para siswa dan situasi belajar serta domisili dimana siswa menuntut ilmu karena hal itu lebih efisien dan efektif agar siswa merasa kebutuhan dan keinginan bebas mereka dapat tersalurkan melalui strategi pembelajaran yang menyenangkan. Namun yang harus tetap diperhatikan adalah jangan sampai kebebasan dan keinginan untuk menuruti kemauan siswa menjadi over dan tidak terkendali karena walau bagaimanapun juga tujuan utama dari sebuah strategi pembelajaran adalah bagaimana siswa dapat menerima materi dengan baik dan sesuai dengan yang ditargetkan oleh guru serta bagaimana para siswa bisa bertanggung jawab atas materi yang telah mereka diskusikan dengan teman mereka.



Bagaimana Cara Penerapan Strategi Pembelajaran TPS Dalam Proses Belajar Mengajar?
Cara penerapan strategi pembelajaran TPS sebenarnya tidak terlalu sulit, hanya saja ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh tenaga pendidik maupun pesaerta didik agar proses penerapan strategi pembelajaran TPS tersebut bisa berjalan sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan. Disamping beberapa hal atau syarat yang harus dilakukan masing-masing oleh tenaga pendidik dan peserta didik, ada pula hal yang harus diperhatikan guna menunjang lancarnya proses penerapan strategi pembelajaran TPS. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1.      Guru atau tenaga pendidik harus memastikan bahwa semua siswa mengikuti jam pelajaran
Dalam menerapkan sebuah strategi pembelajaran TPS hendaknya seorang tenaga pendidik memastikan semua siswa hadir atau mengikuti jam pelajaran karena kehadiran siswa ikut menentukan hasil dari penerapan strategi TPS. Siswa dituntut untuk mengikuti kegiatan awal sampai akhir dari strategi TPS sehingga target untuk mencetak siswa atau peserta didik yang lebih bertanggung jawab bisa diamalkan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan utama dari strategi TPS yaitu mencetak peserta didik yang lebih bertanggung jawab terhadap tugas atau materi yang akan diberikan oleh tenaga pendidik.
Setelah dapat dipastikan bahwa semua siswa hadir, selanjutnya yang harus tenaga pendidik lakukan adalah  menerapkan enam langkah yang harus tenaga pendidik lakukan sebagaimana telah dijelaskan pada penjelasan tentang tugas dan peran tenaga pendidik dalam langkah penerapan strategi pembelajaran TPS diatas. Setelah ke enam langkah tersebut dilakukan dari awal sampai akhir, maka selanjutnya seorang tenaga pendidik atau guru harus melakukan proses mini evaluasi terhadap jalannya strategi TPS, hanya saja dalam melakukan proses mini evaluasi ini tenaga pendidik tidak mengikutsertakan siswa dengan alasan agar siswa merasakan dulu dan mencari kelemahan dari strategi pembelajaran yang baru saja mereka dapatkan. Dalam artian bahwa mini evaluasi tersebut hanya berkisar pada evaluasi tingkat efektifitas waktu dan antusias siswa dalam mengikutinya.
Sebelum memberikan pelajaran menggunakan strategi pembelajaran TPS ada baiknya jika seorang guru atau tenaga pendidik memberikan aktivitas-aktivias ringan sekedar menggairahkan semangat belajar para siswa antara lain:
a.       Free activities (aktivitas ringan atau bebas)
b.      Ice breaker atau brain storming (penyegaran otak)
Yang mana dari kedua aktivitas ringan tersebut bisa diisi dengan kegiatan-kegiatan menyenangkan seperti contoh berteriak bersama-sama, melakukan gerakan yoga atau bahkan jika memungkinkan dan jika dianggap perlu adalah memberikan permainan yang menyenangkan mengingat minat belajar siswa Indonesia yang masih sangat rendah dan masih memerlukan pelumas termasuk didalamnya adalah hal-hal yang menyenangkan seperti yang telah disebutkan diatas.
2.      Guru atau tenaga pendidik harus telah mempersiapkan materi yang akan diberikan kepada siswa
Seperti apa yang telah dibahas diatas bahwa seorang tenaga pendidik harus mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelancaran penerapan strategi TPS salah satunya adalah materi atau masalah yang akan diberikan kepada peserta didik. Jangan sampai tenaga pendidik atau guru menentukan materinya 5 menit sebelum menerapkan strategi pembelajaran TPS atau sebelum siswa terlibat aktif didalamnya, minimal satu hari atau malam sebelumnya seorang tenaga pendidik harus menyiapkannaya karena selain pertimbangan waktu, kesiapan tenaga pendidik juga terkesan tidak siap yang pada akhirnya akan berimbas pada hasil belajar dengan menggunakan strategi TPS. Satu hal yang wajib untuk diingat oleh seorang tenaga pendidik adalah satu hal yang dipikirkan dengan waktu yang singkat maka hasilnya pun akan berlaku dalam waktu singkat.
Adapun cakupan materi atau masalah yang harus dipersiapkan oleh tenaga pendidik adalah segala sesuatu yang berkaitan erat dengan materi pokok mata pelajaran seperti contoh apabila mata pelajarannya adalah agama maka muatan materi atau masalah yang sesuai adalah masalah bagaimana cara mengambil wudhu yang mencakup
a.   Membasuh muka
b.  Membasuh tangan
c.       Membasuh rambut
d.      Membasuh kaki
Artinya bahwa materi atau masalah yang akan diberikan harus benar-benar selaras dan sekiranya dianggap penting dan bisa untuk didiskusikan.
Dari contoh materi masalah diatas bukan berarti mata pelajaran yang lain tidak bisa menggunkan strategi TPS. Tidak menutup kemungkinan mata pelajaran yang lain juga bisa diterapkan strategi TPS seperti contoh bahasa inggris, sejarah, geografi dan lain sebagainya, hanya saja perlakuan dan penerapannya sedikit berbeda. Jadi disarankan untuk tenaga pendidik agar mempersiapkan materi atau masalah yang akan diberikan kepada siswa guna menghindari kesan less of preparation
3.      Guru atau tenaga pendidik harus ikut serta dalam meluruskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa.
Hal yang penting yang biasanya diabaikan oleh beberap tenaga pendidik adalah membiarkan siswanya melakukan kesalahan-kesalahan kecil dengan sebuah alasan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkreasi dan berekspresi. Pertanyaannya kemusian adalah kreasi dan ekspresi apakah selamanya harus dimulai dari suatu kesalahan? Tentu jawabnya tidak selalu ya karena semakin tenaga pendidik membiarkan kesalahan-kesalahan kecil dilakukan oleh siswa maka semakin siswa akan merasa benar dengan kesalahan yang mereka lakukan tanpa senaja bermula dari tingkat keseringan mereka melakukannya.
Pernah ada sebuah kasus kecil yang kebetulan menimpa penulis. Waktu itu seorang guru meminta penulis untuk mempresentasikan perkenalan dalam bahasa inggris. Ketika itu penulis masih duduk dikelas 2 sekolah menengah atas. Dengan keterbatasan kemampuan grammar dan vocabulary yang penulis punya, penulis memberanikan diri untuk tampil didepan kelas. Pada waktu mempresentasikan perkenalan dalam bahasa inggris tidak sedikitpunb penulis mendapat teguran atau koreksi langsung dari guru sehingga penulis beranggapan bahwa semua yang telah penulis ucapkan adalah benar dan hal itu berlangsung beberapa kali. Setelah terbiasa dengan bahasa yang dianggap benar secara otomatis itulah yang akan diproduksi oleh penulis dan ternyata guru memberikan koreksi setelah satu semester berlalu yang pada menyebabkan penulis sulit untuk merubahnya.
Jadi dalam strategi TPS ini diharapkan tenaga pendidik bisa mendampingi siswa secara kontrol selama siswa menerima strategi TPS dan apabila dirasa ada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan siswa diharapkan tenaga pendidik bisa meluruskannya, namun hanya saja cara meluruskannya tidak langsung ketika ditemui kesalahan yang dilakukan oleh siswa dikhawatirkan siswa akan terkejut dan sok sehingga menghambat proses strategi pembelajaran TPS, melainkan guru harus mempunyai waktu 15 menit untuk proses final evaluasi setelah sebelumnya telah mempunyai garis-garis besar dalam mini evaluasi diakhir kegiatan.
Dalam final evaluasi tersebut diharapkan siswa bisa memahami cara belajar dengan menggunakan strategi pembelajaran TPS dengan baik dan benar sehingga tidak akan ada lagi kesalahan-kesalahan pada proses belajar selanjutnya. Dan untuk mengetahui tingkat efektivitas strategi pembelajaran TPS seorang guru atau tenaga pendidik dapat melihatnya dari hasil presentasi siswa dalam kelompok expert.

Apakah Kontribusi Strategi Pembelajaran TPS Terhadap Perkembangan Peserta Didik?
            Berbicara tentang strategi tentunya berkaitan erat dengan hasil atau konstribusi terhadap objek yang dikenakan. Terlepas dari apakah kontribusi tersebut bersifat konstruktif positif ataukah destruktif negatif, tergantung pada tingkat efektivitas strategi dimaksud. Artinya bahwa jika implementasi strateginya terkendali dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka hasil atau kontribusi yang akan diberikan cenderung kepada hal yang bersifat konstruktif positif, sebaliknya jika implementasi strateginya melenceng dari pada rel atau jalur yang telah ditetapkan, maka kecenderungan hasilnya akan destruktif negatif. Adapun hasil atau kontribusi yang dapat diberikan strategi TPS terhadap peserta didik adalah:
1.      Individual Accountability (Tanggung Jawab Individual)
Peserta didik harus mempunyai tanggung jawab individual terhadap topik atau masalah yang dibebankan dalam sebuah sharing idea. Dalam implementasinya peserta didik di haruskan dapat mempertanggung jawabkan kesepakatan apa yang telah disepakati dalam home group untuk kemudian dipresentasikan pada kelompok atau pasangannya.
2.       Positive Interdependence (ketergantungan positif)
untuk melengkapi tingkat pemahaman peserta didik atau siswa terhadap suatu materi pelajaran, maka perlu adanya sebuah langkah diskusi dengan mempertimbangkan setiap pemikiran dari setiap individu dalam satu kelompok. Dari hasil pemikiran bersama itulah akan timbul suatu ketergantungan atau lebih tepat lagi saling melengkapi antara satu individu dengan individu yang lain tentang suatu masalah atau kasus yang bersifat positive interdependence sehingga akan ditemui suatu kesimpulan bersama yang lebih aktual, lebih lengkap dan lebih valid atau dengan kata lain antara berbagai individu akan terjadi saling ketergantungan dalam memaknai dan memahami suatu masalah. Hal itulah yang kemudian menjadi sangat penting bagi kemajuan setiap individu yaitu ketergantungan berbagi wawasan satu sama lain.
3.      Equal Participation (pengambilan keputusan yang berimbang)
Maksud dari kontribusi tersebut diatas adalah antara sesame peserta didik yang telah tergolong menjadi kelompok ahli dan kelompok rumah mempunyai partisipasi yang sama dalam hal penentuan keputusan. Tidak satu kelompok pun yang lebih mendominasi jalannya proses pembelajaran, baik peserta didik atau siswa yang mempunyai tingkat nalar berpikir yang rendah, sedang ataupun diatas rata-rata. Semua mempunyai kesempatan yang sama dalam proses pembelajaran karena setiap siswa atau individu memiliki tanggung jawab yang berbeda dan mereka harus melaporkan hasilnya pada pasangannya.
Letak tanggung jawab itulah yang akan membuat peserta didik menjadi lebih aktif tidak hanya aktif dalam menerima informasi tentang suatu kasus melainkan juga aktif dalam memberikan kontribusi pemikiran tentang suatu kasus yang diberikan oleh guru. Selain itu tanggung jawab yang diemban oleh masing-masing siswa akan semakin membuat siswa lebih mandiri dan terus berusaha menggali informasi terkait kasus atau masalah yang diberikan oleh guru sehingga proses pembelajaran lebih terarah, lebih bermakna dan lebih menyenangkan.
4.      Simultaneous Interaction (pengaruh bersama)
Salah satu faktor keberhasilan sebuah strategi pembelajaran dalam hal ini adalah TPS yang lebih mengutamakan diskusi dan berbagi ilmu pengetahuan maka diperlukan suatu nilai kebersamaan dimana antara semua siswa yang terlibat dalam proses diskusi bisa saling memberikan pengaruh dalam bentuk pernyataan ataupun asumsi. Pola pengaruh kebersamaan antara setiap siswa itulah yang akan menjadi tolak ukur keberhasilan suatu diskusi tentang seberapa besar pengaruh yang akan ditimbulkan oleh masing-masing siswa dalam menentukan kesepakatan atau kesimpulan akhir tentang suatu kasus yang diberikan oleh guru.
























BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Dari uraian tentang strategi pembelajaran TPS diatas dapat dihasilkan sebuah kesimpulan bahwa:
1.      Strategi pembelajaran TPS adalah sebuah strategi pembelajaran yang lebih menekankan pada tiga komponen kemampuan yang diharapkan dapat memberikan gaya belajar yang lebih bertanggung jawab. Adapun ketiga komponen yang dimaksudkan dalam strategi pembelajaran TPS ini adalah
  1. Komponen berpikir (Share)
Dalam komponen berpikir ini para peserta didik diharapkan mampu memberdayakan fungsi kerja otak melalui proses mencerna pengetahuan yang disampaikan melalui sebuah kasus pembelajaran.
  1. Komponen kerja berpasangan (pair)
Komponen kerja berpasangan ini berfungsi sebagai komponen pendukung terhadap komponen berpikir. Dimana dalam prosesnya harus melalui tahapan pemecahan kasus yang dilihat dari berbagai sudut pandang yang diperoleh dari  hasil pemikiran pasangan atau partner kerja, sehingga proses pemecahan kasus bisa dipertanggung jawabkan
  1. Komponen berbagi pengetahuan (Share)
Setelah komponen awal dan komponen pendukung terpenuhi, terakhir adalah komponen utama yaitu berbagi pengetahuan. Dari komponen ini nantinya akan dihasilkan sebuah pengetahuan yang heterogen dari beberapa individu dalam hal ini adalah peserta didik yang terlibat langsung dalam strategi pembelajaran TPS. Keberagaman atau heterogenitas pengetahuan tersebut yang akan menjadi saksi bisu dan pertanda bahwa masing-masing peserta didik mempunyai sudut pandang yang berbeda tentang sebuah kasus dan hasil penyatuan sudut pandang yang berbeda tersebut lah yang akan membuat suatu pemecahan kasus yang lebih mantab, valid dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
2.      Para pelaku pendidikan seperti halnya tenaga pendidik dan peserta didik adalah dua subjek yang akan terlibat langsung dalam penerapan strategi pembelajaran TPS, namun peran serta dan keaktifan peserta didik lebih ditekankan karena dalam penerapan strategi pembelajaran TPS akan lebih banyak melibatkan keaktifan peserta didik.
3.      Kontribusi positif yang dapat dihasilkan dalam penerapan strategi pembelajaran TPS adalah:
a.       Individual accountability (tanggung jawab individual)
b.      Positive interdependence (ketergantungan positif)
c.       Equal participation (pengambilan keputusan yang sama)
d.      Simultaneous interaction (pengaruh bersama)
 SARAN
Saran penulis terhadap terselesaikannya strategi pembelajaran ini adalah
1.      Terhadap Pemerintah
  1. diharapkan pemerintah agar lebih peka lagi dalam membaca dan memahami kebutuhan dunia pendidikan khususnya kebutuhan siswa agar tidak lagi dijumpai sebuah kurikulum yang bermuatan lebih dari kapasitas siswa sebagai peserta didik.
  2. Sebagai pemegang kekuasan dan penentu kebijakan disarankan kepada kementrian pendidikan untuk bisa menyeimbangkan antara target keilmuan yang dibebankan kepada siswa dengan fasilitas penunjang pendidikan untuk mencapai target tersebut
  3. Kinerja pemerintah hendaknya lebih diperjelas lagi disesuaikan dengan peran yang sebenarnya dan forsi yang proporsional terutama terkait dengan masalah pendidikan.
2.      Terhadap Tenaga Pendidik
  1. Profesionalisme harus diimbangi dengan keberanian mengambil sikap khususnya yang berkaitan dengan strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
  2. Keterlibatan secara langsung sewaktu-waktu sangat diperlukan untuk mengatur jalannya pembelajaran dalam kelas
  3. Jangan terlalu terpaku terhadap strategi pembelajaran yang baku namun tidak bisa memberikan dampak positif langsung bagi kemajuan peserta didik.
3.      Terhadap peserta didik
  1. Harus lebih bisa menempatkan diri sebagai subjek kedua dalam pembelajaran yaitu sebagai tempat penampung pengetahuan bukan sebagai tempat transit pengetahuan.
  2. Harus bisa lebih bertanggung jawab sebagai pewaris pengetahuan khususnya tanggung jawab secara pemahaman terhadap suatu materi pembelajaran.
  3. Lebih giat lagi dalam menuntut ilmu pengetahuan dalam rangka mewujudkan indonesia yang bersumber daya manusia yang berkualitas.
  4. Lebih percaya diri untuk selalu berkata bisa.






























BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Sampurno Agus, 2008 Think, Pair and share (berfikir, berpasangan dan berbagi pengetahuan). Google : Think, Pair Share.
Jeremy Harmer , 1998 the practice of English language teaching. Third edition. 116. Cambridge. Longman.
Mulyasa E. 2006 menjadi guru professional. Bandung. PT remaja rosdakarya.