BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pilkada Jawa Timur yang sudah menyelesaikan tahap awal banyak menyisakan pertanyaan besar khususnya bagi kalangan elit politik yang mempunyai kepentingan dalam mengiring kadernya menduduki kursi kepemimpinan yang strategis. Salah satu tanda Tanya besar yang menjadi headline news hampir di setiap media pemberitaan adalah tentang Mengapa masih banyak warga Jawa Timur yang tidak menggunakan hak pilihnya?. Pertanyaan tersebut tentu muncul bukan tanpa alasan. Artinya bahwa ada hal yang memicu mengapa masyarakat tidak ikut serta memberikan hak pilihnya dalam proses pemilihan umum dalam hal ini adalah pemilihan kepala daerah. Mengenai hal pemicu apakah itu, itulah yang menjadi PR bersama baik komisi pemilihan umum wilayah Jawa Timur dan para pemerhati politik. Beberapa jawaban yang kemudian muncul dan berusaha menjawab PR tersebut adalah kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan umum kepala daerah disebabkan oleh beberapa hal diantaranya
1. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap janji-janji pemerintah utamanya para calon pemegang kekuasaan.
2. Kekecewaan masyarakat terhadap para pelaksana pemilihan umum kepala daerah (PILKADA).
3. Minimnya informasi tentang PILKADA.
Dari ketiga jawaban tersebut yang lebih mendapatkan perhatian khusus adalah point kedua tentang kekecewaan masyarakat terhadap pelaksana pemilihan umum kepala daerah (PILKADA), karena untuk point pertama, hal itu sudah menjadi isu umum yang seringkali diperdebatkan dalam setiap kesempatan debat terbuka calon kandidat. Sedangkan pada point ketiga, sangat tidak masuk di akal jika masyarakat tidak mengetahui informasi tentang PILKADA, karena secara otomatis sudah ada tim humas khusus yang di-SK-kan oleh komisi pemilihan umum daerah untuk mempublikasikan pesta demokrasi daerah yang akan berlangsung yang tentunya dipersiapkan secara matang dan merata. Jadi tidak ada alasan masyarakat tidak mendapatkan informasi tentang PILKADA.
|
1.2. Rumusan Masalah
Sesuatu yang diasumsikan sebagai masalah, tentu tidak hanya berhenti pada pernyataan asumtif semata tanpa ada sebuah pembahasan lebih lanjut tentang masalah yang dipermasalahkan, dalam hal ini adalah bagaimana cara meningkatkan kualitas demokrasi dalam pemilihan umum daerah. Dalam hal ini langkah efektif dan efisien adalah membatasi masalah dimaksud dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut.
1. Benarkan kualitas demokrasi hanya bergantung pada sikap sadar masyarakat ?
2. Upaya apakah yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kualitas demokrasi?
3. Bagaimana caranya agar upaya peningkatan kualitas demokrasi bisa terlaksana?
1.3. Tujuan
Untuk menambah kejelasan karya tulis ini, penulis mempunyai tujuan terkait dengan judul dan rumusan masalah yang sengaja penulis angkat. Adapun tujuan dimaksud dari penulisan karya tulis ini adalah
1. Untuk mengetahui apakah benar demokrasi akan berkualitas hanya dengan dukungan dan sikap sadar masyarakat terhadap demokrasi.
2. Untuk memberikan gambaran upaya yang dapat dilakukan guna meningkatkan kualitas demokrasi.
3. Untuk mengetahui langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan agar dapat meningkatkan kualitas demokrasi.
Itulah beberapa tujuan dari penulisan karya tulis ini yang nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi keberlangsungan proses demokrasi langsung dalam bangsa Indonesia.
1.4. Manfaat
Sehubungan dengan tujuan penulisan karya tulis ini, maka tentunya ada sedikit atau banyak manfaat yang kiranya dapat diambil dari karya tulis ini. Terlepas dari apakah karya tulis ini bisa mendatangkan manfaat secara individual ataukah manfaat secara hidup bersama dengan sebuah pengharapan hidup dan proses yang lebih baik. Adapun manfaat yang diharapkan bisa terwujud melalui karya tulis ini adalah
1. Semoga hadirnya karya tulis ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran kepada seluruh penggiat politik sekaligus pemerhati politik di Indonesia akan betapa pentingnya mengkaji dan mengamalkan amanat undang-undang dasar (UUD 45) demi sebuah wujud kepedulian terhadap kondisi demokratisasi di Indonesia.
2. Semoga karya tulis ini mampu memberikan penyadaran kepada masyarakat agar senantiasa berperan aktif secara langsung melalui hak suara dalam pesta demokrasi demi mensukseskan tertib demokrasi
3. Semoga karya tulis ini dapat menjadi media komunikasi antara pemerintah dan masyarakat agar senantiasa memberikan yang terbaik bagi bangsa indonesia khususnya dalam hal kepemimpinan dan keikutsertaan langsung dalam memberikan hak pilih dalam sebuah tatanan demokrasi yang demokratif bukan demokrasi yang fiktif.
4. Semoga karya tulis ini bisa memberikan manfaat bagi semua pembaca lebih-lebih para praktisi pendidikan sebagai bahan evaluasi dan bahan perbandingan sekaligus bahan acuan guna menciptakan proses demokrasi yang lebih baik lagi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Demokrasi yang Berkualitas Tidak Hanya Bergantung Pada Sikap Sadar Masyarakat.
“Democracy is premised on the civil ideals of universal freedom and citizen equality. To the degree are at all, these ideals can be realized only and the basis of ongoing collaboration between an engaged citizenry and a state of protecting rights across the who9le of its territory” (Hefner 1998:18).
Dilihat dari kerangka pemikiran tersebut, maka reformasi politik Indonesia dalam tiga bidang besar tersebut mestilah menuju kepada pemberdayaan secara simultan baik institusi negara maupun lembaga-lembaga masyarakat madani yang berada diluar negara dan kekuasaan. Tanpa pemberdayaan simultan kedua hal tersebut, maka akan sulit sekali harapan untuk terciptanya masyarakat madani Indonesia baru, yaitu Indonesia yang demokratis. Hal yang kemudian menjadi sangat rentan dan sangat penting untuk diperhatikan adalah keadaban demokratis dan demokratis keadaban. Dalam arti bahwa apa yang dikemukakan oleh Hefner bahwa dalam pengembangan keadaban demokratis sangat bergantung pada perubahan dan penyesuaian kultural dan institusional. Kedua hal itulah yang belum pernah terpikirkan dan belum pernah terjamah dalam proses demokrasi di Indonesia. Dengan kata lain bahwa perlu diadakannya sebuah perubahan orientasi demokrasi yang lebih mementingkan nilai-nilai keadaban termasuk didalamnya adalah kejujuran dan keadilan. Kejujuran dalam memainkan demokrasi dan keadilan dalam berdemokrasi.
|
Jika pada pemilihan gubernur Jawa Timur masa jabatan 2003-2008 pasangan Imam Utomo dan Soenarjo yang berhasil memenagkan PILGUB tersebut dengan hasil perolehan suara 63 Suara dan pasangan rivalnya Abdul Kahfi dengan pasangannya Ridwan Hasyim yang memperoleh 34, itu artinya bahwa hanya ada 2 suara rusak dan 1 abstain (Kasiyanto Kasemin, 2004) mengapa pada proses PILGUB tahun 2008 ini harus 40% yang abstain. Hal itu menunjukkan bahwa kualitas demokrasi dalam proses PILGUB 2008 bukannya lebih baik melainkan lebih merosot dan inilah yang seharusnya disadari oleh para pelaksana PILKADA.
Lantas apa yang menyebabkan kemerosotan kualitas demokrasi pada PILKADA 2008? Beberapa media pemberitaan melansir bahwa ada beberapa faktor penyebab kemerosotan kualitas PILKADA sebagai berikut:
A. Intervensi Politic of Power dan Money Politic
Tidak dapat dipungkiri bahwa intervensi politik selalu mewarnai ranah kehidupan manusia, ibarat pasangan suami istri, politik ibarat suami bagi kehidupan manusia, selama manusia hidup selama itu pula politik akan terus menemani proses revolusi kehidupan manusia. Begitu pula halnya dalam demokrasi, intervensi politik sangat kuat dan karena kekuatannya terhadap masalah demokrasi, sering kali politik lebih mendominasi sehingga proses demokrasi seakan-akan tertelan dalam nuansa politik. Itulah yang terjadi dalam PILKADA di Indonesia hampir di seluruh daerah. Salah satu contoh daerah yang mengalami kemerosotan demokrasi adalah Jawa Timur. Akibat dari intervensi politik yang terlalu dominan, proses PILKADA sama sekali jauh dari kata sukses.
Iming-iming kesejahteraan hidup dan perbaikan ekonomi yang ditawarkan kepada masyarakat daerah sangat menggebu-gebu dikampanyekan. Tidak jarang pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendidikan serta perluasan lapangan pekerjaan menjadi kontrak politik yang dengan jelas dipampang melalui iklan-iklan baris disepanjang jalan menuju desa dan kota. Semuanya itu adalah merupakan salah satu bentuk dominasi politik kekuasaan, sehingga masyarakat awam yang tidak faham akan arti dan bentuk politik itu sendiri serta merta 100% mempercayai setiap kalimat pilitik yang terpampang.
Beda halnya dengan educative society ( masyarakat terdidik), hadirnya bernagai media politik tidak serta merta dijadikan santapan siap saji yang harus disantap seketika. Tentunya mereka para masyarakat terdidik terlebih dahulu akan berpikir demi jangka panjang keberlangsungan hidup mereka, sehingga tidak semudah itu mereka harus memberikan hak suara mereka terhadap para calon pemegang kekuasaan. Itu arrtinya bahwa jika 40% masyarakat Jawa Timur yang tidak menggunakan hak pilihnya, maka dapat disimpulkan bahwa kisaran masyarakat berpendidikan di Indonesia hanya 40% selebihnya adalah masyarakat tak berpendidikan yang mudah terperangkap dalam permainan politik. Hal itu sekaligus menandakan bahwa perbandingan masyarakat terdidik dengan masyarakat tidak terdidik adalah 6 berbanding 4 dimana secara statistik angka tersebut menunjukkan tingkat buta aksara yang ada di Indonesia masih sangat tinggi khususnya di daerah Jawa Timur. Jadi terdapat sinyalemen bahwa pemerintah telah gagal mencanangkan program masyarakat membaca atau yang lebih dekat adalah wajib belajar 12 tahun seperti yang telah dicanangkan oleh Gubernur Jawa Timur dalam hal ini adalah Imam Utomo.
Jadi sudah tidak dapat dipungkiri lagi intervensi politic of power dan money politic masih sangat mendominasi dalam setiap pelaksanaan demokrasi di Indonesia sehingga sangat kecil kemungkinan demokrasi di Indonesia akan berjalan adil dan benar sesuai dengan rel yang telah ditetapkan.
B. Penyalah Tafsiran Demokrasi
Suatu ketika Johan ditanya oleh Santi yang secara kebetulan mereka berdua mengikuti seminar tentang perbaikan demokrasi Indonesia. Sebelum berangkat, berdasarkan ketidak mengertiannya, Susi menanyakan kepada Johan tentang arti demokrasi. Dengan sedikit senyum Johan menjawab bahwa Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Selebihnya Johan menjawab bahwa demokrasi adalah proses pemilihan secara langsung. Susi yang memang dari awal tidak mengerti makna demokrasi yang sebenarnya mengiyakan saja jawaban Johan, sehingga dengan kepercayaan kebenaran makna demokrasi tersebut Susi berani mengatakan bahwa demokrasi adalah proses pemilihan langsung dimana masyarakat mempunyai hak privasi dan otoritas penuh dalam memilih calon pemimpinnya.
Padahal lebih dari itu, demokrasi tidak bisa diartikan hanya secara harfiah semata, demokrasi mempunyai makna kompleks dan universal sesuai dengan konteks masalah dan konteks kekinian yang menjadi permasalahan. Contoh sederhana dari demokrasi secara konteks kekinian adalah demokrasi merupakan proses pembenaran yang salah dan pelurusan yang mbelot secara langsung maupun secara petak umpet, sedangkan demokrasi seperti yang telah dipaparkan oleh David Beetham dan Kevin Boyle dalam bukunya yang berjudul 80 tanya jawab tentang demokrasi, demokrasi berarti bahwa demokrasi mencakup prinsip kembar kontrol rakyat atas proses pembuatan keputusan kolektif dan kesamaan hak-hak dalam menjalankan kendali pemerintahan. Perluasan makna demokrasi tersebut tentunya bukan tanpa alasan, mungkin penafsiran demokrasi yang demikian sangatlah tidak relevan dari kata demokrasi itu sendiri, tapi itulah kenyataannya, kenyataan dimana demokrasi di Indonesia memang tidak pantas untuk ditafsirkan sebagai proses secara langsung, proses secara adil, proses secara jujur, karena banyak sekali dijumpai masalah ekstrim kesemena-menaan yang mengatasnamakan demokrasi.
Karena salah menafsirkan demokrasi itulah banyak dari masyarakat Indonesia yang melakukan hal-hal yang sebenarnya amat sangat tidak demokratis, tapi dengan kepercayaan mereka hal itu kemudian menjadi sah-sah saja. Namun masyarakat bukanlah subjek yang salah dalam hal ini, semua yang telah dilakukan masyarakat dengan pengatasnamaan demokrasi itu hanyalah luapan kekesalan terhadap pemerintah yang tidak pernah menempatkan demokrasi sesuai dengan peran dan fungsinya, sebenarnya pemerintah cukup pintar untuk mengartikan apa itu demokrasi, tapi mengapa masih saja pemerintah tiba-tiba kaku dan kelihatan bingung dan bodoh ketika dihadapkan pada persoalan demokrasi yang demokratis.
Bukti nyata dari luapan kekesalan masyarakat terhadap pemerintah dibuktikan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam PILKADA yang semakin meningkat. 40% masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam proses PILGUB 2008 tahap pertama bisa saja berkembang menjadi 60% atau bahkan 70% pada proses PILGUB tahap kedua. Bagaimana cara mengantisipasinya, itulah yang seharunya menjadi prioritas pertama dan utama pemerintah khusunya panitia pemilihan umum daerah Jawa Timur sehingga tingkat abstain atau golput masyarakat Jawa Timur bisa dikendalikan. Dengan cara apa dan bagaimana? Jawaban itu tidak lain adalah kembali menafsirkan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, bukan pemerintahan dari pemerintah oleh rakyat dan untuk satu kepentingan individu.
C. Terlalu Banyak Prosedur
Selain intervensi politic of power dan money politic serta penyalah tafsiran demokrasi, prosedur yang berbelit-belit juga merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas demokrasi Indonesia. Kembali pada persoalan PILKADA Jawa Timur khususnya PILGUB Jawa Timur, prosedur dan tata cara pemilihannya terus terang sangat pelik dan memberatkan. Dapat dibayangkan, masyarakat yang akan memilih calon gubernur harus memfotocopy kartu identitas, kartu keluarga, kartu kesehatan dan kartu-kartu lainnya. Padahal sebelum akhirnya digelar pesta demokrasi PILGUB sudah ada pendataan atau sensus penduduk untuk mendata semua masyarakat mulai dari perkotaan sampai pada pedesaan terpencil pedalaman. Tapi mengapa harus ada pembuktian secara formalitas salah satunya dengan fotocopy kartu identitas. Hal itu mengindikasikan bahwa pemerintah sangat lemah dalam hal administrasi.
Satu hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan pelaksana PILKADA bahwa masyarakat yang memilih tidak mendapatkan jaminan uang sepeserpun, mengapa mereka harus mengeluarkan uang pribadi untuk memilih calon gubernur. Tidakkah cukup waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk bekerja mereka sempatkan untuk memilih calon gubernur yang belum tentu bisa memberikan kompensasi atau jaminan uang kepada mereka. Tidakkah cukup ongkos transport yang mereka keluarkan hanya demi mensukseskan proses PILKADA dan PILGUB. ironisnya kertas fotocopyan yang mereka serahkan kepada pihak panitia pemilihan umum daerah hanya dijadikan bukti bahwa mereka benar-benar mempunyai hak memilih dan setelah itu lantas dilihat dan diabaikan.
Berbeda dengan Negara luar, dinegara luar contohnya Amerika Serikat, mereka tidak terlalu membuat prosedur yang pelik bagi masyarakatnya, namun bukan berarti mereka tidak cekatan dalam hal membuat prosedur. Yang terpenting bagi mereka adalah praktek dan teknis dilapangan. kepelikan prosedur itulah yang sebenarnya membuat masyarakat enggan memberikan hak suara mereka dalam proses demokrasi. Seandainya panitia pemilihan umum daerah benar-benar siap menyelenggarakan PILKADA dan PILGUB, tentunya tidak terlalu memberatkan masyarakat yang ingin memberikan hak pilih mereka. Cukup dengan sensus penduduk seharusnya masyarakat sudah dapat memberikan hak suara mereka tanpa harus diberatkan dengan foto copy identitas, karena sebenarnya itu sudah mewakili kebenaran dan keabsahan masyarakat pemilih. Beda halnya jika ada masyarakat yang belum terdaftar sebagai pemilih, seharunya panitia lebih siap dengan prosedur antisipasi atau dalam dunia pendidikan dikenal dengan planning B. Anehnya panitia merasa seakan-akan sudah terbiasa dengan mewajibkan masyarakat melalui prosedur-prosedur yang memberatkan dan tradisi itu sudah berlangsung lama.
2.2. Upaya Peningkatan Kualitas demokrasi
Pemilu 2009 sudah mulai hangat di bicarakan oleh para partai politik, sekarang dimulai dari pencalonan anggota legislatif oleh masing-masing partai. Namun, publik tidak dilibatkan, dalam proses politik yang sangat menentukan negara kita di masa mendatang ini. Sekarang, mayoritas masyarakat dihinggapi kejenuhan politik (political fatigue), atau semacam kekecewaan demokrasi (democratic disappointment), akibat kurang bermaknanya demokratisasi terhadap kehidupan masyarakat.
Menyambut Pemilu 2009 ini ”greget” public sangat menurun dibuktikan dengan tingginya angka golput dalam pilkada Jawa Timur khususnya, tampilnya sedikit pemimpin muda, lemahnya kaderisasi dalam partai, merosotnya kredibilitas penyelenggara negara karena korupsi, dan skandal moralitas menjerat elite politik. Kecenderungan ini memberi pertanda khusus Pemilu 2009. Melemahnya antusiasme publik berpartisipasi dalam pemilu dan lunturnya kepercayaan publik terhadap demokrasi bisa menyebabkan kualitas Pemilu 2009 merosot, tidak sebaik Pemilu 2004. Jika tidak diatasi, hal ini dikhawatirkan menjadi sandungan politik bagi keberlanjutan demokrasi di Indonesia.
Di masyarakat yang demokrasinya sedang berkembang, seperti Indonesia, rendahnya partisipasi politik mengindikasikan aneka makna. Bisa jadi ini pertanda buruk performa institusi demokrasi, atau mencerminkan rendahnya kesadaran politik warga. Tetapi, melihat tingginya partisipasi politik dalam Pemilu 2004, tidaklah tepat menyalahkan warga negara. Masalahnya terletak pada institusi demokrasi kita. Partisipasi adalah soal hak, bukan kewajiban. Penggunaannya pun tidak bisa dipaksakan, tetapi berdasarkan kesadaran politik warga. Jika masyarakat memandang penggunaan hak politiknya akan memberi manfaat bagi kehidupannya, dengan sendirinya mereka akan berpartisipasi dalam politik. Sebaliknya, jika tidak, mereka akan mengabaikannya.
Merosotnya partisipasi publik merupakan dampak bekerjanya sistem demokrasi selama ini. Dalam sistem demokrasi yang sedang berkembang ini, tingkat partisipasi merupakan pertanda politik penting untuk menilai kualitas demokrasi. Saat rakyat merasakan kebutuhan dasar dan hak-hak politiknya tidak terpenuhi, mereka akan bersikap apatis terhadap proses politik yang terjadi.
Bagaimana meningkatkan partisipasi warga yang sudah merosot dan tidak percaya pada demokrasi? Tidak ada rumus pasti atas masalah ini. Partisipasi adalah masalah rumit, terkait kompleksitas hubungan lembaga politik dengan kehidupan masyarakat sipil yang luas. Sistem demokrasi selalu menghadapi ketidakpastian. Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah panglima. Terlebih mendekati pemilu, mereka adalah penentu terakhir permainan politik, dengan segala misteri di dalamnya. Apa kemauan rakyat dan kepada siapa mereka menjatuhkan pilihan politik selalu menjadi tanda tanya bagi demokrasi.
Masalah ini bukan hanya dihadapi Indonesia, tetapi juga negara yang telah maju demokrasinya. Amerika Serikat misalnya, selalu menghadapi masalah tingginya angka golput. Namun, karena politik sehari-hari, atau normal politics, mereka bekerja dengan baik maka mereka bisa mengatasinya.
Bagi Indonesia, tingginya partisipasi politik dalam Pemilu 2004 bisa dijadikan modal dasar guna mengatasi ketidakpastian ini. Masalahnya, terletak pada institusi demokrasi kita. Bagaimana menjadikan institusi-institusi demokrasi ini lebih berarti sehingga publik kian berpartisipasi dan menjadikan sebagai kepedulian bersama. Kini, yang paling mendesak, jelas di depan mata sekaligus paling realistis dilakukan, adalah bekerjanya institusi Pemilu 2009. Bagaimana menjadikan Pemilu 2009 lebih berkualitas, setidaknya seperti Pemilu 2004 sehingga mendongkrak kepercayaan publik terhadap demokrasi. Kualitas demokrasi bisa ditingkatkan anatara lain dengan;
A. Pemberian Penghargaan
Dengan memberi nilai lebih pada bekerjanya institusi demokrasi melalui penambahan dan peningkatan kebaikan atau berbagai kemuliaan nilai demokrasi untuk kebaikan bersama (public virtues). Fundamental dalam demokrasi, adalah hidup dalam kebebasan. Dengan itu, warga negara bebas menyampaikan pikiran, pendapat, berbicara, menentukan pilihan, dan tujuan hidupnya. Dalam hal ini, berkembangnya demokrasi akan memperluas kebebasan nyata (the real freedom) dan memperkaya makna hidup (enriching human life), menjadikan kehidupan publik lebih bermakna. Dalam sistem demokrasi yang bebas dan terbuka, kebebasan menyampaikan pikiran dan pendapat akan menumbuhkan berkembangnya diskusi publik. Diskusi publik ini akan menumbuhkan berkembangnya nalar publik (public reasons) berupa berkembangnya kepedulian publik terhadap masalah yang dihadapi.
Di sini menjadi jelas perbedaan antara sistem otoriter, atau otokrasi, dan demokrasi. Jika dalam pemerintahan otokratis, berbagai masalah pembangunan, seperti bencana kelaparan, kemiskinan, kemerosotan kualitas hidup, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, konflik sosial akibat pembangunan cenderung ditutup-tutupi rezim penguasa, dalam demokrasi, berkat berkembangnya diskusi publik bisa segera diatasi.
Merosotnya partisipasi publik dan kualitas demokrasi bisa diselamatkan dengan menumbuhkan berkembangnya demokrasi nalar publik (public reasons democracy) dalam Pemilu gubernur Jawa Timur tahap kedua. Dengan demikian, politik demokrasi kita memiliki kepedulian terhadap aneka masalah yang dihadapi publik. Pemilu dengan diskusi harus dikembangkan. Masalah-masalah mendesak yang dihadapi bangsa, seperti pemulihan krisis ekonomi, pemilihan pascakonflik, pemulihan pascabencana, jaminan keamanan, kemerosotan kualitas hidup kesehatan, pendidikan, kemiskinan, pengangguran, dan problema sosial-ekonomi lainnya, harus bisa diangkat dan mendapat pemecahannya dalam pemilihan umum daerah Jawa Timur dalam hal ini adalah pemilihan gubernur. Tanpa itu, dikhawatirkan kualitas demokrasi kita akan kian merosot, tidak peka terhadap masalah-masalah yang dihadapi bangsa sekarang ini.
B. Meningkatkan Pendidikan Demokrasi Masyarakat
Dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pemilihan umum (PEMILU) masyarakat seharusnya terlibat atau ikut serta di dalamnya, karena mereka masih berhak untuk ikut serta memberikan pemikiran-pemikirannya pada saat perencanaan dan penyelenggaraan tersebut. Selain itu, masyarakat juga harus ikut serta di dalam mengevaluasi sehingga dengan sendirinya pendidikan demokrasi di masyarakat akan terlaksana. Dengan begitu masyarakat akan mempunyai kreatifitas-kreatifitas sendiri tidak selalu mengkopi dari pemerintah. Di negara berkembang seperti di Indonesia ini. memang sepantasnya mengembangkan model-model pendidikan demokrasi yang sifatnya partisipatoris sehingga masyarakat akan mengerti terhadap apa yang seharusnya mereka lakukan.
Apabila seluruh lapisan masyarakat paham pada proses demokrasi maka pemerintah tidak perlu menghabiskan banyak tenaga untuk menolehkan kesadaran masyarakat yang hari ini sedang menurun derastis. Secara tidak langsung mereka akan merasa terpanggil dan merasa mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Mereka tidak akan membiarkan atau melepaskan tanggung jawab tersebut kepada KPU atau pemerintah saja.
C. Memaksimalkan Kinerja KPU Dalam Bingkai Hukum
Pemerintah berkewajiban memberi peringatan pada setiap panitia pemilihan umum dalam hal ini adalah pelaksana PILKADA agar bersama-sama bekerja maksimal dalam mensukseskan jalannya pemilihan umum daerah. Berbicara tentang peringatan tentunya ada ancaman atau sanksi bagi siapa saja yang melanggar peringatan tersebut dan hukumlah yang akan berbicara dan bertindak langsung. Sanksi itulah yang akan membingkai kinerja para pelaksana PILKADA sehingga mereka akan bekerja on the job desicion atau bekerja pada pembagian job yang semestinya.
Kasus kecil yang pernah terjadi pada proses pemilihan unum daerah Jawa Timur tahap pertama adalah adanya pelimpahan tugas atau wewenang pelaksana PILKADA, yang seharusnya dia mengurusi bagian penerimaan kartu pemilih, sebaliknya mengurusi masalah pemberian kartu suara, apapun alasannya hal itu tidak bisa dibenarkan secara prosedur, kalaupun ada hal yang sangat penting yang harus dilakukan oleh satu orang dalam sebuah tim pelaksana PILKADA, maka seharusnya penggantinya adalah bukan orang yang mempunyai tugas berbeda melainkan harus ada orang cadangan yang suatu saat dapat menggantikan posisi yang bersangkutan. Itulah yang seharusnya dipikirkan oleh para panitia penunjuk pelaksana PILKADA, layaknya sebuah permainan tentunya ada tim cadangan untuk menggantikan tim inti. Dan itu juga seharusnya berlaku dalam pelaksana PILKADA agar kemungkinan terjadinya kesalahfahaman dan kesalahkerjaan dalam proses pemilihan umum bisa terhindari.
Namun pada kenyataannya, hal itu tidak pernah diberlakukan sehingga tidak jarang terjadi salah kerja dan salah faham antara sesama pelaksana PILKADA dalam satu tim. Kalau sudah seperti itu sama halnya dengan tidak siap atau kurang siap menyelenggarakan pemilihan umum daerah. Kasus kecil tersebut mungkin bagi sebagian orang tidak terlalu mengganggu proses pemilihan umum, namun bagi para saksi dari setiap calon, hal semacam itu sangat riskan dan sangat gampang memicu perselisihan. Karena tingkat kepercayaan saksi calon tidak semuanya sama dan karena ketidaksamaan itulah maka seharusnya panitia harus bisa berlaku adil melalui pengadaan cadangan pengganti pelaksana PILKADA yang berkepentingan sejenak. Agar proses pemilihan bisa berjalan maksimal dan kerja pelaksana pun bisa maksimal bersih dari segala macam tuduhan kecurangan.
2.3. Cara Mewujudkan Demokrasi Yang Berkualitas
Sebuah upaya mewujudkan demokrasi yang berkualitas akan berakhir pada sebatas upaya semata tanpa follow up atau tindak lanjut bagaimana cara merealisasikan upaya yang telah dikonsep tersebut. Dalam hal ini ditawarkan beberapa cara untuk merealisasikan upaya yang telah dikonsep dengan harapan agar apa yang telah menjadi cita-cita bersama yaitu terwujudnya demokrasi yang demokratis melalui pemilihan umum yang jujur dan adil. Adapun cara yang dapat ditempuh untuk mewujudkan demokrasi yang demokratis adalah:
A. Terapi UUD Perihal Pemilihan Umum Yang Jujur Dan Adil
Undang-undang dasar negara republik Indonesia tidak lagi menjadi peraturan yang diindahkan masyarakat. Jaminan hukum dan segala bentuk tata tertib yang termaktub didalamnya tidak lebih hanya sebatas formalitas administratif sebuah Negara. Bagaimana tidak jika permasalahan yang jelas-jelas diundang-undangkan dengan begitu gampangnya diabaikan. Pembangkangan sipil, pelanggaran hukum oleh masyarakat tanpa kekerasan untuk mempertahankan suatu prinsip penting atau kepentingan vital mempunyai tempat terhormat dalam sejarah demokrasi.. hal ini harus dibedakan dari pelanggaran hukum kriminal, dengan melihat keterbukaannya, tujuan politisnya, dan dengan melihat fakta bahwa mereka yang terlibat sama sekali tidak berusaha menghindari penindakan atau hukuman atas pelanggaran-pelanggaran mereka.
Oleh karenanya agar undang-undang yang telah dihasilkan secara konsensus kesefahaman dan konsensus kemusyawarahan bisa berjalan maksimal, maka perlu diadakan sebuah terapi ulang terhadap para pelaksana demokrasi dalam hal ini adalah PILKADA agar dihasilkan sebuah pemahaman mendalam tentang esensi sebuah undang-undang dasar sebagai ideologi bertindak dan berpijak. Terapi yang dimaksud adalah upaya penyembuhan pengentengan terhadap demokrasi karena tidak jarang para pelaksana menganggap demokrasi hanya sebagai media jembatani pemilihan kepala daerah.
Terapi yang seharusnya diterapkan adalah terapi bertahap dengan tahap awal memberikan pembelajaran dasar bagi para pelaksana PILKADA tentang dasar-dasar demokrasi, selanjutnya adalah memberikan suatu pelatihan analisis sosial (ansos) dengan harapan pelaksana PILKADA dapat melihat dan terjun langsung ditengah-tengah masyarakat sehingga mereka bisa dengan langsung menyaksikan realita sosial yang terjadi dalam masyarakat, kemudian disesuaikan dengan pelaksanaan secara teknis PILKADA dilapangan. Setelah pemberian materi ansos selanjutnya adalah karantina demokrasi. Karantina demokrasi disini dimaksudkan agar setelah melalui beberapa tahapan pembelajaran, para pelaksana PILKADA bisa mengaplikasikan seluruh pengetahuan yang telah diperoleh melalui ajang kompetisi. Dilihat dari makna kompetisi tersebut tentunya akan didapatkan pelaksana PILKADA yang benar-benar kompeten dan professional dalam hal pelaksanaan demokrasi. Selain itu kompetisi juga dimaksudkan agar para pelaksana PILKADA termotivasi untuk menjadikan demokrasi dalam PILKADA berjalan sukses dan terarah. Dengan catatan bahwa pelaksanaan terapinya harus tetap mengacu pada UUD 45 pasal 22 E ayat 1 bab VII B amandemen ketiga tentang pemilihan umum yang luber dan jurdil.
Dari ketiga tahapan terapi tersebut dimungkinkan terjadi semacam over lapping satu dengan lainnya, oleh karena itu, untuk menghindari masalah tersebut langkah antisipasi yang dapat dilakukan adalah menjadwal segala macam kegiatan yang telah terkonsep sehingga terkesan well preparation dan berjalan sesuai dengan prosedur. Jika tidak juga hal itu membuahkan hasil maka selanjutnya adalah pemberian shock terapi kepada para pelaksana PILKADA, adapun jenis-jenis shock terapi yang dapat diberlakukan adalah:
a. Upaya Hukum atau Penberian Hukuman Kepada Para Pelanggar UUD 45 Pasal 22 E ayat I bab VII Amandemen Ketiga.
b. Pemecatan secara tidak hormat kepada para pelanggar pelaksanaan PILKADA dari jabatan pemerintahan.
c. Denda Langsung Tunai (DLT) berupa pembayaran secara tunai sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Keutuhan demokrasi dapat dipertahankan jika masyarakat mulai sadar posisi dan sadar peran serta sadar hukum. Sehingga bukan tidak mungkin kualitas demokrasi bisa diraih dengan catatan apa yang telah dibuat diberlakukan secara prosedural tanpa ada istilah tebang pilih antara si A atau si B.
B. Memberi Piagam Penghargaan Berkelanjutan
Sebagaimana diuraikan dalam bab pemberian penghargaan diatas bahwasanya Dengan memberi nilai lebih pada bekerjanya institusi demokrasi melalui penambahan kebaikan atau berbagai kemuliaan nilai demokrasi untuk kebaikan bersama (public virtues). Hal ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari terapi pembentukan jiwa pelaksana PILKADA yang bersih dan adil serta jujur, penghargaan yang diberikan bukanlah penghargaan secara materi melainkan penghargaan dalam bentuk sanjungan kemulian yang dapat dimanifestasikan dalam bentuk pemberian piagam penghargaan atas dedikasi selama menjalankan proses demokrasi.
Tentunya dalam pelaksanaan pemberian penghargaan tersbut tidak secara merata bagi semua pelaksana PILKADA, namun secara berkelanjutan dimana dari proses pelaksanaan yang berkelanjutan tersebut bisa dijadikan percontohan bagi pelaksana PILKADA yang lain sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial dari berbagai daerah yang berbeda. Dari percontohan tersebut dapat diberlakukan prasyarat-prasyarat untruk mendapatkan piagam penghargaan sehingga semuanya berjalan lancar dan adil. Dalam artian adil manakala ada pelaksana PILKADA yang masih belum memenuhi syarat, maka tidak akan mendapat piagam penghargaan, sebaliknya manakala ada pelaksana PILKADA yang telah memenuhi syarat yang diberlakukan, maka selayaknya mendapat piagam penghargaan.
Untuk jangka panjang, penghargaan tersebut tentunya diharapkan tidak hanya berhenti sebagai piagam penghargaan semata, melainkan penghargaan itu dapat dipergunakan untuk kepentingan pelayanan publik semisal pelayanan pajak dan lain sebagainya yang berhubungan dengan hal pelayanan publik. Jika hal semacam pemberian penghargaan itu bisa dijalankan dengan baik maka akan sulit dijumpai pelaksana PILKADA yang acuh-tak acuh dalam menjalankan tugas, karena secara psikologi kewarganegaraan, warga Negara Indonesia adalah warga Negara yang haus akan penghargaan dan haus akan sanjungan. Hal itu tidak dapt dielakkan lagi kebenarannya, terbukti dengan masih berlakunya penyebutan gelar dibelakang nama yang masih sangat populer di Indonesia. Yang sebenarnya hal itu sudah tidak berlaku di negara luar.
C. Diklat Tentang Demokrasi
Menjawab tentang pertanyaan Mengapa kita harus menjunjung tinggi demokrasi? jawabannya adalah
a. Karena Kesetaraan Sebagai Warga Negara.
b. Memenuhi Kebutuhan-Kebutuhan Umum
c. Pluralisme dan Kompromi
d. Menjamin Hak-Hak Dasar
e. Pembaruan Kehidupan Sosial.
Mengingat banyaknya alasan dalam menjawab pertanyaan tersebut tentunya tidak cukup jika hanya dipelajari secara otodidak oleh segelintir orang saja. Oleh sebab itu perlu adanya semacam pelatihan tentang demokrasi secara total. Dari diklat demokrasi tersebut akan dihasilkan berbagai macam pertanyaan terkait demokrasi yang mungkin belum pernah terpikirkan selama ini, contonya adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan umum. Dibandingkan dengan pemerintahan tipe lain, pemerintahan demokratis lebih mungkin untuk memenuhi kebutuhan rakyat-rakyat biasa. Semakin besar suara rakyat dalam menentukan kebijakan, semakin besar pula kemungkinan kebijakan itu mencerminkan keinginan dan aspirasi-aspirasi mereka. “tukang sepatu membuat sepatu”, kata pepatah Athena kuno, “tetapi hanya si pemakailah yang bisa mengatakan di bagian mana sepatu itu menggencet”. Rakyat biasalah yang merasakan pengaruh kebijakan-kebijakan pemerintah dalam prakteknya, dan kebijakan pemerintah dapat mencerminkan keinginan rakyat hanya jika ada saluran-saluran pengaruh dan tekanan yang konsisten dan efektif dari bawah. Betapapun baiknya niat para penguasa, jika mereka menafikan pengaruh atau kendali rakyat, maka ada dua kemungkinan buruk yang akan terjadi, yang pertama adalah kebijakan-kebijakan mereka (penguasa) tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan rakyat, dan kemungkinan yang kedua adalah yang lebih buruk yaitu kebijakan-kebijakan itu korup dan hanya melayani kepentingan penguasa sendiri. (baca 80 Tanya jawab demokrasi).
Hal semacam itu tidak akan pernah diketahui oleh para pelaksana PILKADA karena pada dasarnya, mereka hanya menjalankan tugas dan tidak mau tahu apa sebenarnya yang rakyat tuntut dan harapkan dibalik kinerja mereka sebagi pelaksana demokrasi. Pemberian diklat demokrasi mungkin akan merubah istilah bahwa pelaksana PILKADA hanya bisa menjalankan tugas tapi sebenarnya tidak tahu makna dibalik tugasnya menjadi pelaksana PILKADA yang mumpuni yang mewakili keinginan-keinginan dan tuntutan rakyat kecil. Dari diklat demokrasi itu pula akan dihasilkan atau dicetak sosok pelaksana yang handal dan kompeten menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar demokrasi sehingga kesangsian masyarakat tentang demokrasi yang sebenarnya bisa tercerahkan dengan jawaban-jawaban sosialis bukan jawaban-jawaban diplomatis guna menyelamatkan demokrasi yang sebenarnya tidak berada dalam posisi bersalah, karena sebenarnya yang bermasalah adalah pelaksana demokrasi itu sendiri bukan demokrasinya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kualitas demokrasi di Indonesia masih sangat jauh mencapai standard kualitas yang ditetapkan pemerintah, contoh kasus adalah pada proses pemilihan umum daerah Jawa Timur dimana pada tahap awal pemilihan gubernur Jawa Timur secara statistik tercatat sebanyak 40% masyarakat Jawa Timur yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam PILGUB (pemilihan gubernur) 2008. Kenyataan itu menunjukkan bahwa kualitas demokrasi di Jawa Timur jauh berada dibawah standard kulitas demokrasi. Beberapa hal yang telah disebutkan dari penyebab kemerosotan kualitas demokrasi khususnya di Jawa Timur adalah sebagai berikut:
1. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap janji-janji pemerintah utamanya para calon pemegang kekuasaan.
2. Kekecewaan masyarakat terhadap para pelaksana pemilihan umum daerah (PILKADA)
3. Minimnya informasi tentang PILKADA
Setelah melihat beberapa faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa Jawa Timur masih belum pantas dan masih belum siap untuk melaksanakan proses demokrasi. Namun hal itu bisa ditepis jika para pelaksana PILKADA dalam hal ini adalah pemilihan umum daerah Jawa Timur mau introspeksi kinerja dan mau mengadakan evaluasi total dalam pelaksanaan demokrasi. Ada beberapa upaya yang ditawarkan agar kualitas demokrasi di Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur khusunya bisa terdongkrak kembali. Adapun beberapa tawaran upaya tersebut adalah
1. Pemberian Penghargaan
2. Meningkatkan Pendidikan Demokrasi Masyarakat
3. Memaksimalkan Kinerja KPU Dalam Bingkai Hukum
Itulah ketiga upaya yang ditawarkan guna mewujudkan demokrasi yang berkualitas demi keberlangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia dimana untuk mendukung upaya tersebut telah pula dipaparkan bagaimana cara merealisasikannya, yaitu:
1. Terapi UUD Perihal Pemilihan Umum Yang Jujur Dan Adil
2.
|
3. Diklat tentang demokrasi
Diharapkan dari upaya dan cara pengaktualisasian tersebut proses demokrasi di Indonesia bisa berjalan lancar jujur dan adil utamanya dalam menyongsong proses pemilihan gubernur tahap kedua nanti.
Saran
Saran penulis terkait dengan dibuatnya karya tulis ini tidak terlepas dari niat dan cita-cita luhur menciptakan masyarakat madani, masyarakat sejahtera, masyarakat terdidik melalui pemilihan umum daerah yang nantinya akan menghasilkan pemimpin yang demokratis, pemimpin yang tidak apatis, pemimpin yang populis dan semua itu akan bisa diraih hanya dengan satu kesefahaman antara kedua belah pihak yaitu masyarakat kecil dan para pemegang kekuasaan termasuk pelaksana PILKADA. Oleh karena itu disarankan kepada semua yang merasa memiliki kepentingan untuk meningkatkan kualitas demokrasi agar:
1. Hendaknya menjalankan tugas sebagai pelaksana PILKADA dan pemegang kekuasaan dengan jujur, adil dan amanah.
2. Mendahulukan kepentingan masyarakat luas diatas kepentingan pribadi sesuai dengan asas kekeluargaan dan asas musyawarah
3. Bersikap terbuka dan demokratis dalam menghadapi permasalahan yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil.
4. Hendaknya lebih peka dan sensitive mengatasi masalah-masalah demokrasi yang semakin lama semakin tidak terkontrol
5. Hendaknya tidak hanya memberikan janji-janji hampa kepada masyarakat kecil melalui kebijakan-kebijakan individual money oriented
Begitu pula untuk masyarakat, seharusnya masyarakat tidak hanya selalu bisa menuntut dan menghakimi bebas para pelaksana PILKADA dan pemegang kekuasaan. Karena mereka juga manusia yang mempunyai batas kemampuan dan mempunyai batas maksimal kekuatan untuk berbuat yang lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat kecil. Hendaknya masyarakat mulai sadar bahwa kehidupan yang lebih baik atau masyarakat madani tidak serta merta akan terwujud hanya apabila mengandalkan kemampuan pemerintah tanpa dukungan dan bantuan masyarakat kecil. Oleh karena itu disarankan kepada masyarakat kecil agar:
1. Bersikap lebih tenang dalam menerima isu-isu kerakyatan yang bersifat provokatif
2. Bersikap adil dalam menuntut keadilan.
3. Hendaknya tidak hanya bisa menuntut, tapi juga bisa memberikan kontribusi pemikiran guna kehidupan yang lebih baik.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Beetham David dan Boyle Kevin, 2000 Demokrasi 80 tanya jawab. Kanisius
Anwar Fuad.H , 2004 Melawan Gusdur. Cetakan kedua. Pustaka Tokoh Bangsa.
Azra Azyumardi.DR., 2002 Reposisi Hubungan Agama dan Negara. Kompas.
Hasanudin; Visiting Researcher Kumamoto University, Jepang http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
Trijono Lambang, 2008 Kualitas Pemilu 2009, Kompas Yogyakarta
|
No comments:
Post a Comment