Pages

Friday, December 30, 2011

KIHADJAR DEWANTARA VERSUS PAULO FREIRE


Oleh :asah
Praktek pendidikan di Indonesia selama kurun waktu rezim soeharto hampir tidak jauh berbeda dengan pendidkan di Brazil dan Chili. Model pendidikan "gaya bank" seperti yang telah diungkap ole Paulo Freire masih sangat mendominasi dalam sistem pendidikan Indonesia. Tak jarang banyak sekali dijumpai proses atau praktek pendidikan yang lebih mengutamakan guru sebagai subjek tunggal dibandingkan dengan peserta didik yang selalu diposisikan sebagai objek. Sejatinya sebuah ungkapan bahwa pendidikan adalah media memanusiakan manusia, maka pendidikan di Indonesia sama sekali terlempar jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Flashback pada fenomena pendidikan masa rezim orde baru, seorang guru mempunyai hak kuasa penuh untuk menghukum muridnya yang melanggar tata tertib atau peraturan yang dibuat secara sepihak semisal murid dilarang membeli jajan diluar sekolah atau murid wajib memakai kaos kaki putih dan bersih. Manakala ada salah seorang murid melanggar peraturan tersebut, maka dengan kuasanya seorang guru menghukum murid bersangkutan dengan cara yang sangat tidak mendidik, seperti contoh murid dihukum berlari mengelilingi lapangan sekolah sebanyak 8 hingga 10 kali putaran tanpa mengenakan baju. Atau yang terbaru adalah kasus penganiayaan yang dilakukan oleh seorang kepala sekolah terhadap siswanya dengan menampeleng hingga menyebabkan salah satu giginya patah hanya karena si siswa sering bolos dan terlambat. Hal tersebut sangatlah tidak mendidik bahkan sangat jauh dari esensi pendidikan memanusiakan manusia.
Pada tahun 1998 tepatnya pada masa runtuhnya masa rezim soeharto dan semangat orde barunya membawa angin segar bagi keberlanjutan proses pendidikan Indonesia. Jika untuk memperbaiki model pendidikan yang membelenggu di negara Brazil seorang Freire harus melibatkan diri secara langsung dalam proses perubahan dengan rumusan piwulang dorothy law notle nya (baca politik pendidikan freire, pemikiran-pemikiran revolusioner), maka Kihajar Dewantara dengan tut wuri handayani nya seharusnya mampu merubah model pendidikan Indonesia yang semula politik oriented menjadi model pendidikan yang knowledge oriented . namun pada kenyataannya pendidikan Indonesia masih semraut terbukti dengan fungsi dan peran seorang guru yang "mekanis" seperti yang telah dinyatakan Freire dimana seorang guru hanya menjejalkan muatan materi kepada peserta didik tanpa memperhatikan kebutuhan peserta didik.
Runtutan konsep pendidikan Kihajar Dewantara sebenarnya tidak beda jauh dengan apa yang telah dirumuskan oleh Freire, hanya saja ada poin yang sedikit bertentangan yang berakibat fatal bagi kemampuan memimpin peserta didik, adalah ing ngarso sung tulodo (didepan menjadi seorang teladan atau model). Poin tersebut kemudian menjadi fatal karena seharusnya seorang guru tidak bersifat mekanis ataupun statis. Jika tauladan atau model yang dimaksudkan oleh Kihadjar Dewantara adalah tauladan santun dan menerima apa adanya, maka Freire memprediksi alamat akan terbentuknya seorang pribadi siswa yang intropert serta sulit untuk berkembang dan berpikir kritis. Namun jika tauladan yang dimaksudkan adalah tauladan berupa motivasi, maka interpretasinya akan berbeda lagi yaitu siswa akan lebih percaya diri sebagaimana konsep Freire termanivestasikan dalam piwulang dorothy law notle dikutip Nurul Huda SA; `jika anak dibesarkan dengan dorongan ia belajar percaya diri`
            Model pendidikan hadap masalah (problem-posing education) yang digagas oleh Paulo Freire adalah cocok sebagai upaya mencetak peserta didik yang peka terhadap problematika kehidupan sosial yang nantinya akan mampu berpikir kritis melawan segala bentuk ketimpangan sosial layaknya Freire yang mampu melepaskan belenggu pendidikan dinegaranya Brazil. Oleh karena itu sudah saatnya model pendidikan Indonesia hijrah dari yang dulunya "gaya bank" ( banking concept of education) ke model pendidikan hadap masalah (problem posing education) sehingga tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh UNESCO tentang learning to be (belajar untuk menjadi) bisa terlaksana dengan adanya model pendidikan hadap masalah. Namun satu hal yang harus tetap dilestarikan dalam pendidikan Indonesia adalah sikap takdim (akhlak) terhadap guru, karena mengadopsi model pendidikan dari luar ala Freire bukan berarti kita harus mengadopsi faham liberalisme nya dan menghilangkan sikap santun terhadap guru.

No comments:

Post a Comment