Oleh asah
Kutipan kampanye Barrack Obama di Nashua, New Hampshire (8 Januari 2008):”vote is not for party, this is not about what I can do and this is not about what I want, but you”.
Tidak satupun kata-kata rasis kedaerahan yang digunakan Barrack Obama dalam kampanyenya diantara puluhan ribu konstituen (pemilih). Keyakinan kualitas kepemimpinan dan i`tikad baik perubahan yang menjadi manufer politiknya saat itu. Adalah benar jika sebagai seorang calon pemimpin melihat suatu persaingan bukan dari sisi kedekatan emosional, kemapanan keuangan dan kekuatan kekuasaan, melainkan lebih kepada hal positif kualitas dan jiwa kepemimpinan. Seperti yang telah dikatan oleh Sun Tzu dalam bukunya Sun Tzu`s art of War bahwa “bila anda mengepung seorang musuh, berilah dia suatu jalan untuk melarikan diri. Anda jangan menekannya sehingga dia tidak mempunyai harapan”. Makna tersurat dan tersirat yang terkandung dalam statement (pernyataan) Sun Tzu tersebut adalah sportifity value (Nilai sportivitas)
Selanjutnya Sakban Rosidi dengan bahasa sugestinya mengatakan bahwa “setiap orang yang percaya diri itu baik, tapi orang yang tahu diri itu jauh lebih baik”. Ya… mungkin kata itulah yang tepat untuk mewakili para calon pemegang kekuasaan yang masih terlena dengan mimpi romantisme indah menjadi seorang pemimpin. Padahal telah jelas disabdakan oleh Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang artinya “kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan pada hari kiamat; nikmat diawal dan pahit diujung” (Al-hadist).
Memang harus diakui bahwa jaminan kehidupan yang lebih mapan kala menjadi seorang pimipinan adalah tawaran paten khususnya dinegara Indonesia, namun lagi-lagi trademark (cap) masyarakat Indonesia sangat konservatif, karena seharusnya yang mereka tuju bukanlah nilai materi semata melainkan nilai prestisius yang kemudian sangat mulia dibalik sebuah kepemimpinan. Sehingga yang terjadi adalah perebutan kursi kepemimpinan oleh orang-orang yang kredibilitas dan kualitas kepemimpinannya masih sangat minim. Ironisnya virus jamur pencalonan kepemimpinan itu merambat pada level Negara kecil berpenghuni beberapa orang dalam satu kesatuan idiologi yang disebut organisasi. Berbagai macam intrik politik dilakukan hanya demi menjabat pucuk pimpinan tertinggi dalam organisasi tersebut tanpa landasan pacu yang jelas.
Jika mengacu pada UU RI No 39 Tahun 1999 tentang HAM, memang hal tersebut (mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin) tidaklah salah , namun persepsi tersebut menjadi salah jika HAM diartikan secara general tanpa melihat teks dan konteksnya. Semestinya esensi HAM tidak disalahtafsirkan dengan penafsiran umum bahwa setiap orang berhak memposisikan dirinya, tanpa melihat potensi diri. Penting kiranya bagi setiap calon pemimpin untuk mengetahui potensi diri sebelum akhirnya menjadi seorang pemimpin, karena kursi kepemimpinan bukan ajang untuk pelajar baru yang baru ingin belajar, melainkan belajar hal baru yang bukan ecek-ecek.
Jadi untuk semua calon pemimpin hendaknya lebih demokratis dalam hal pemilihan, selama kita bisa menunjukkan kualitas bahwa kita pantas untuk menjadi seorang pemimpin, mengapa self-esteem (harga diri) kita harus dipertaruhkan dengan bargaining position (posisi tawar) yang rendah, apalagi memanfaatkan rasisme sebagai kendaraan politik.
Silahkan bersaing dalam pemilihan tanpa harus mencontoh napak tilas seorang Barrack Obama, tanpa harus menjadikan Sun Tzu sebagai referensi, ataupun tanpa harus didikte oleh seorang Sakban Rosidi, bahkan tanpa harus terhegemoni dogma tentang hadits yang menyatakan bahwa ujung sebuah kepemimpinan adalah pahit, karena kesemuanya itu adalah wacana perenungan bersama.
Yang harus diulakukan adalah menggali potensi diri untuk lebih baik menjadi pemimpin yang Sidiq, Amanah, Tabligh, Fatonah.
No comments:
Post a Comment