Oleh : asah
Semboyan three motto “Dzikir, Pikir dan Amal Sholeh” yang selama ini didengungkan oleh para penggiat organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia hampir tidak sesuai dengan makna filosofis PMII, apakah yang kemudian salah dalam tubuh PMII, apakah prosesnya ataukah sistemnya?
Secara filosofis ada empat kata yang menggabungkan PMII, salah satunya adalah mahasiswa. “mahasiswa adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu diperguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dinamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba tuhan maupun sebagai warga Negara Indonesia” Jelas jika kemudian mahasiswa identik dengan insan intelektual tentunya secara tidak langsung mahasiswa mempunyai pencitraan positif dari masyarakat.
Selanjutnya intelektual mempunyai makna cendikiawan atau orang yang terpelajar. Pencitraan masyarakat terhadap mahasiswa tentunya melalui sebuah proses pembuktian kondisi seperti yang telah dirumuskan Tarki (1930) bahwa S benar jika dan hanya jika P benar, hal itu didukung melalui sedikit pembaharuan oleh Ruth M. Kempson (1970) yang memformulasikan bahwa S berarti P atau S wajib benar jika dan hanya jika P benar karena P menentukan kebenaran S. yang membedakan antara dua pendapat tersebut terletak pada pengembangan bahasa dimana Kempson lebih menggunakan pembebasan pengembangan berbahasa untuk membuktikan kondisi kebenaran P. (teori pembuktian kebenaran)
Pada kenyataannya, kondisi tidak sepenuhnya membuktikan keintelektualan mahasiswa. Banyak hal yang harus disangsikan dari intelektualitas mahasiswa lebih-lebih pada mahasiswa yang mengaku dirinya sudah memiliki kematangan berorganisasi. Fakta dilapangan berbicara bahwa seorang organisatoris yang seharusnya lebih intelektual dari pada mahasiswa membebek (mahasiswa yang hanya datang kekampus, pulang, dan belajar) ternyata tidak menunjukkan keintelektualannya. Tidak jarang seorang organisatoris hanya menjadi pendengar setia dalam berbagai forum ilmiah yang seharusnya menjadi lahan atau arena beronani intelektual atau beronani wacana terkait kehidupan sosial masyarakat. Dan itu telah terjadi di organisasi PMII Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi.
Proses Pengkaderan Organisasi PMII
Sesuai dengan latar belakang pergerakannya dimana PMII adalah organisasi pergerakan yang “cadre oriented” tentunya PMII mempunyai tanggung jawab untuk mengantarkan semua kadernya menjadi kader yang siap pakai untuk masyarakat. Sebagai tindak lanjut dari tanggung jawab tersebut PMII melakukan suatu proses pengkaderan dalam rangka membekali para kader tentang berbagai hal terkait dengan kebutuhan organisasi. Pertanyaannya adalah bagaimanakah proses pengkaderan dalam PMII sehingga kader yang telah melalui proses pengkaderan tidak mampu unjuk gigi dan mandiri serta mempunyai kematangan berorganisasi? Apakah proses pengkaderan yang dimaksud adalah proses yang bertumpu pada intelektual kader ataukah proses pengkaderan sebatas merekrut kader sebanyak-banyaknya tanpa menitikberatkan pada kualitas intelektual kader (kuantitas tidak seimbang dengan kualitas). Jika ternyata proses pengkaderan yang dimaksud adalah sebagaimana poin kedua, maka alamatnya adalah PMII bermakna terbalik dengan intelektual, namun jika sebaliknya maka alhamdulillah karena PMII sinonim dengan intelektulitas. (hanya internal PMII yang bisa menentukan). Oleh karena itu, bukan saatnya PMII terlena dengan kuantitas kader, saatnya PMII sadar akan keutamaan kualitas intelektual, karena jika kualitas intelektual telah dimiliki, maka secara tidak langsung kuantitas akan mengikuti.
Sistem Pengkaderan PMII
Personal approach yang selama ini menjadi jurus andalan PMII dalam menggaet peminatnya memang patut untuk diacungi dua jempol. Namun sayangnya pendekatan personal yang awalnya dimaksudkan agar terjalin hubungan emosional yang erat antara sesama kader menjadi sebuah dilema dramatis yang berakhir pada ketidakmandirian kader. Sistem pengayoman ala uncontrol personal approach yang digencarkan PMII tidak mampu mencetak kader yang intelek, kreatif dan mandiri, sebaliknya membuat kader selalu tergantung pada si pelaku PDKT sehingga upaya untuk melahirkan the next Barrac Obama hanya tinggal isapan jempol semata. Kronologis terpilihnya seorang Obama bukan hanya karena faktor kerinduan masyarakat Amerika dipimpin oleh seorang pemimpin kulit hitam, melainkan karena intelektual dan kepiawaian Obama dalam berorganisasi. Background pendidikan yang relatif tidak elit dan keterbatasan pengalaman yang jika dibandingkan dengan rivalnya Mc Cain berbanding 7:3 tidak menjadi hambatan warga Amerika untuk memilihnya sebagai pemimpin Negara adikuasa dunia. Sekali lagi, terpilihnya Obama sebagai presiden karena intelektual dan piawainya. Pertanyaannya adalah, Apakah PMII mampu melahirkan Obama-Obama lain yang lebih Intelek dan lebih piawai?. (hanya internal PMII yang bisa menentukan). Jika PMII selamanya menanamkan semangat hubungan emosional tanpa kontrol, maka emosional itu akan menghilang, namun jika PMII menanamkan semangat kemandirian, maka intelektualitas yang kapabilitas dan produktivitas yang penuh kreativitas yang akan menjadi buah siap petik sehingga PMII pantas untuk dikatakan sinonim dengan intelektualitas.
No comments:
Post a Comment